Monday, 12 August 2019

Jadi Cendekia Asal Penciptaan Dan Kedudukan Wanita Dalam Alquran


Asal Penciptaan dan Kedudukan Perempuan Dalam Alquran. Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita supaya terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran perihal asal insiden perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang sanggup diangkat yaitu firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13, "Wahai seluruh manusia, tolong-menolong Kami telah membuat kau (terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kau saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kau yaitu yang paling bertakwa."

Ayat ini berbicara perihal asal insiden insan - dan seorang lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara perihal kemuliaan insan - baik lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah Swt. Memang,secara tegas sanggup dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Quran memiliki kedudukan terhormat. Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa, "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir sanggup (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan- sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki -potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggungjawab, dan mengakibatkan kedua jenis kelamin ini sanggup melakukan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.

Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, sanggup menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan. Ayat Al-Quran yang terkenal dijadikan tumpuan dalam pembicaraan perihal asal insiden perempuan yaitu firman Allah dalam surat An-Nisa, ayat 1: "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah membuat kau dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah membuat pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak."

Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, menyerupai contohnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir setuju mengartikan kata tersebut dengan Adam.

Beberapa pakar tafsir menyerupai Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar, tidak beropini demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka memahami arti nafs dalam arti "jenis." Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan pertama itu, menyerupai yang ditulis Tim Penerjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama. yaitu pendapat dominan ulama. Dari pandangan yang beropini bahwa nafs yaitu Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya yaitu "pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.

Agaknya alasannya yaitu ayat diatas membuktikan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan yaitu bab dari lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, dan alasannya yaitu itu perempuan bersifat 'auja' (bengkok atau tidak lurus).

Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir setuju mengartikannya demikian- Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadits yang menyatakan: "Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, alasannya yaitu mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... " (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).

Hadits diatas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak kesahihan (kebenaran) hadits tersebut. Yang memahami secara metafora beropini bahwa hadits diatas memperingatkan para lelaki supaya menghadapi perempuan dengan bijaksana, alasannya yaitu ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki - hal mana bila tidak disadari akan sanggup mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan bisa mengubah abjad dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha kesannya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat diatas menegaskan bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk Adam. Kita sanggup berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat Al-Quran yang sanggup mengantarkan kita untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki.

Ide ini, menyerupai ditulis Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ilham yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa saat Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, kemudian ditutupkannya pula daerah itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dan Adam itu, Allah membuat seorang perempuan. "Seandainya tidak tercantum dongeng insiden Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama menyerupai redaksi diatas, pasti pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim," demikian Rasyid Ridha- (Tafsir Al-Manar IV: 330)

Bahkan kita sanggup berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur insiden Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra' ayat 70, "Sesungguhnya Kami telah memuliakan bawah umur Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan." Tentu, kalimat bawah umur Adam meliputi lelaki dan perempuan, Demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu meliputi bawah umur Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki.

Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat 195 yang menyatakan, "Sebagian kau yaitu bab dari sebagian yang lain ..." Ini dalam arti bahwa sebagian kau (hai umat insan yang berjenis lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat insan yang berjenis (perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal insiden serta kemanusiaannya.

Dengan konsiderans ini, Allah menegaskan bahwa: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan" (QS Ali 'Imran: 195) Ayat ini dan semacamnya yaitu perjuangan Al-Quran untuk mengikis habis segala pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Dalam konteks pembicaraan perihal asal insiden ini, sementara ulama menyinggung bahwa seandainya bukan alasannya yaitu Hawa, pasti kita tetap akan berada di surga. Disini sekali lagi ditemukan semacam upaya mempersalahkan perempuan.

Pandangan semacam itu terang sekali keliru, bukan saja alasannya yaitu semenjak semula Allah telah memberikan rencana-Nya untuk menugaskan insan sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30), tetapi juga alasannya yaitu dari ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran Adam dan Hawa diungkapkan dalam bentuk kata yang memberikan kesamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti, "Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya...QS, Al-A'raf: 20). "Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari nirwana itu, dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya... (QS Al-Baqarah: 36).

Kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan berbentuk tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, menyerupai dalam firman Allah, Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dan berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS Thaha: 120). Demikian terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada daerah yang sewajarnya, serta meluruskan segala pandangan salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal insiden kaum perempuan.

No comments:

Post a Comment