Monday, 30 September 2019

Jadi Akil Kenapa Harus Kitab Kuning Bukan Alquran Dan Hadits


Sebetulnya judul yang lebih pas "Kenapa Harus Bermadzhab dan Taqlid Kepada Ulama?" Karena yang dimaksud dengan memakai kitab kuning ialah ikut salah satu Madzhab dalam arti taqlid kepada Ulama. Fenomena penolakan sebagian kalangan terhadap konsep Taqlid untuk kaum awam menjadikan polemik bagi ummat Islam, terutama bagi orang menyerupai kita yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami agama pribadi dari sumbernya yakni al qur’an dan as sunnah (hadits).

Disamping itu keengganan untuk bermadzhab telah mendorong semangat sebagian ummat islam untuk beristinbath (menggali aturan pribadi dari sumbernya, yakni al qur’an dan as sunnah) tanpa disertai sarana yang memadahi. Dan kesudahannya sanggup kita rasakan, betapa spirit agama yang semestinya yaitu “Rahmatan Lil ‘Alamiin” bermetamorfosis “Fitnah Perpecahan” diantara sesama ummat islam.

Oleh karenanya sebelum kita melepaskan diri dari bermadzhab (Taqlid) sebaiknya kita bercermin diri setidaknya wacana beberapa hal :

1. Apa kita telah memahami bahasa arab dengan benar ?


Memahami bahasa arab dengan benar yaitu sarana pertama yang mesti kita kuasai, mengingat dua sumber utama dalam islam yakni al qur’an dan as sunnah yang memakai Bahasa Arab dengan mutu yang sangat tinggi. Ilmu yang mesti kita kuasai dalam bidang ini setidaknya mencakup Gramatika Arab (Nahwu-Shorof), Sastra Arab /Balaghoh (Badi’, Ma’ani, Bayan), Logika Bahasa (Manthiq) Sejarah Bahasa, Mufrodat, dst...

Hal ini penting guna meminimalisir kesalahan dalam mengidentifikasi makna yang dikehendaki syari’at dari sumbernya secara Harfiyah (Tekstual), juga untuk mengidentifikasi nash-nash yang bersifat ‘Am (umum), Khosh (khusus), berlaku Hakiki, Majazi dst...

Adalah hal yang naif jikalau kita berani menyampaikan “Halal-Haram, Sah-Bathil, Shohih-‘Alil” hanya berdasar pemahaman dari terjemah al qur’an atau as sunnah. Sebagai ilustrasi sederhan berikut kami kutipkan tugas pemahaman bahasa arab yang baik dan benar dalam memahami al qur’an dan as sunnah :

Contoh Fungsi Gramatika Arab
Firman Allah yang menjelaskan tata cara berwudhu :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu hingga ke siku, dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu hingga kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)

Terkait : Wudhu berdasarkan pendapat 4 madzhab
Coba anda perhatikan kalimat وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dalam firman Allah diatas, dimana kata tersebut dibaca Nashob (dibaca Fathah pada abjad lam) padahal kata tersebut lebih bersahabat dengan kata بِرُءُوسِكُمْ (kepala kalian) yang dibaca Jar (dibaca kasroh pada abjad Ro’) dengan konsekwensi makna sebagai berikut :

  • Jika kata وَاَرْجُلِكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasroh) maka yang harus dilakukan untuk kaki ketika berwudhu yaitu mengusap bukan membasuh, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلِكُمْ disambung dengan kata بِرُءُوسِكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) yaitu وَامْسَحُوا (dan usaplah)
  • Jika kata وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca nashob (fathah) maka yang harus dilakukan untuk kaki ketika berwudhu yaitu membasuh bukan mengusap, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلَكُمْ disambung dengan kata وُجُوهَكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) yaitu فَاغْسِلُوا (basuhlah)

Coba anda perhatikan: betapa dengan sedikit perbedaan, berimplikasi makna dan kewajiban yang berbeda. Dimana ketika kata وَاَرْجُلَكُمْ dibaca fathah/nashab maka kewajibannya yaitu Membasuh, sedang jikalau kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca kasroh/jar, maka kewajibannya yaitu mengusap. Adakah hal ini kita dapati dari al qur’an terjemah ?

Contoh Fungsi Balaghoh/Sastra Arab
Masih dalam tema ayat diatas, coba anda perhatikan kata إِذَا قُمْتُمْ dengan memakai fi’il madhi (kata kerja masa lampau) yang jikalau dialih bahasakan secara harfiyah memberi makna : “Apabila kalian telah bangun /menjalankan”... sedang yang dimaksud yaitu sebelum sholat. Inilah yang dalam pelajaran sastra arab disebut dengan “Ithlaqul Madhii Wa Uridal Mustaqbal”

Contoh Fungsi Manthiq
Diantara fungsi “Manthiq”/Logika Bahasa dalam konteks ayat diatas yaitu guna men-Tashowwur-kan (menjelaskan dengan makna yang Jami’ dan Mani’) dari masing-masing kata dalam ayat diatas, misal yang dimaksud dengan “Yad” (tangan) adakah ia yaitu “Tangan” dalam bahasa kita? “Wajah” seberapakah tempat yang masuk kategori “Wajah”? dan “Ru’us” (kepala), Membasuh, Mengusap, dst.... adakah semuanya sanggup kita definisikan dengan kamus bahasa indonesia? Sedang al qur’an memakai bahasa arab dengan mutu paling tinggi ?

2. Sudahkah kita menghafal al-Qur’an (seluruhnya) dan juga sekurang-kurangnya seratus ribu hadits ?


Syarat kedua diatas sangatlah dibutuhkan lantaran dengan terpenuhnya syarat tersebut akan tergambar semua ayat dan hadits terkait jikalau anda hendak tetapkan suatu perkara, dengan demikian keputusan/pendapat anda akan terhindar dari bertabrakan dengan nash-nash yang lain.

Sebagai ilusrtrasi sederhana kita gunakan ayat ayat diatas dengan terjemah : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu hingga ke siku, dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu hingga kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)

Jika kita memahami hanya dari ayat tersebut, maka akan kita dapati aturan wajibnya berwudhu yaitu bagi setiap orang yang hendak melaksanakan sholat, baik ia orang yang masih dalam keadaan suci maupun berhadats. mengingat keumuman perintah pada ayat diatas yang ditujukan pada setiap orang yang hendak melaksanakan sholat.

Syarat kedua tsb, juga berkhasiat untuk menghindarkan anda menempatkan dalil bukan pada tempatnya, misal menempatkan ayat-ayat yang sejatinya untuk orang-orang kafir namun anda hantamkan untuk orang-orang islam. Bukankah Abdulloh Ibn Umar –rodhiyallohu ‘anhu- pernah berkata, ketika dia ditanya wacana gejala kaum Khowarij ?

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Dan yaitu Ibnu Umar, ia memandang mereka (Khowarij) sebagai seburuk-buruk makhluk Allah, dan ia berkata : “Mereka (Khowarij) berkata wacana ayat-ayat yang (sejatinya) turun terhadap orang-orang kafir, mereka timpahkan ayat tersebut untuk orang-orang beriman”. (HR. Al Bukhori, Bab Qotlil Khowaarij)

3. Sudahkah kita menguasai ilmu-ilmu pendukung yang lain guna memahami al qur’an dan as sunnah?


Perangkat lain yang mesti anda kuasai dalam menggali aturan dari Al Qur’an dan As Sunnah yang memang luas dan dalamnya melebihi luas dan dalamnya samudera, diantaranya yaitu :

  1. Anda harus mengetahui “Asbaabun Nuzul” dari setiap ayat dan juga “Asbaabul Wuruud” dari setiap hadits, hal ini penting semoga anda bisa menempatkan dalil-dalil sesuai porsinya dan bisa membedakan dalil-dalil yang “Nasikh” (Pengganti/penyalin) dari dalil-dalil yang “Mansukh” (diganti/disalin)
  2. Anda juga harus menguasai sekurang-kurangnya “Qiro’ah Sab’ah” dalam ilmu qur’an, mengingat akan Naif rasanya seorang “Calon Mujtahid” melafadzkan al qur’an tidak dengan pengucapan yang fashih.

Disamping itu anda juga harus menguasai ilmu-ilmu pendukung guna memahami As Sunnah, menyerupai Mushtholah Hadits, Jarh Wat Ta’dil, Taroojim, dst... hai ini penting setidaknya semoga anda tidak berhukum dengan hadits yang lemah dengan menabrak hadits yang shohih.

4. Sudahkah kita menguasai kaidah ber-istinbath dari para imam mujtahid ?


Syarat keempat diatas juga sangat penting setidaknya guna mengetahui cara mensikapi nash-nash yang Mujmal, Mubayyan, ‘Am, Khosh, dan cara men-Jami’-kan (mencari titik temu) jikalau terdapat nash-nash yang dzahirnya Mukholafah (berselisih) atau Ta’aarudh (bertentangan).
Sebagai ilustrasi sederhana kami kutipkan Firman Alloh berikut :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, dan melaksanakan kebajikan, mereka menerima pahala dari tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)

Sepintas ayat diatas memberi pemahaman adanya peluang yang sama bagi orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, untuk menerima pahala disisi Alloh atas kebajikan yang mereka perbuat. Sehingga seakan ayat tsb menyatakan bahwa orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, bisa masuk sorga. Adakah kenyataannya memang demikian ? sedang dalam ayat lain Alloh berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di alam abadi dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Alu Imron : 85)

Perhatikan dua ayat diatas !!! adakah pengetahuan yang memadahi pada diri anda untuk men-Jami’-kan dua nash yang dzahirnya Mukholafah (tidak sejalan) tsb ?.... sungguh apa yang kami sampaikan diatas hanyalah sebagian kecil perangkat yang harus anda kuasai untuk Ber-Istinbath (menggali aturan pribadi dari sumbernya)

Pembaca... kami sampaikan hal-hal diatas bukan dalam rangka mematahkan semangat berguru anda, akan tetapi ketika anda mencoba menggali aturan dari sumbernya pribadi tanpa perangkat yang memadai, maka yakinlah Kelancangan Anda Hanya Akan Berakibat Perpecahan Ummat Islam.

Li kulli Syaiin ahlun, idza wusidal amru lighoiri ahlihi fantadhiris saa'ah : “Setiap segala sesuatu ada ahlinya, Jika suatu kasus diembankan (diserahkan) pada yang bukan ahlinya, maka nantikanlah ketika kehancurannya”.

Sebagaimana fenomena yang terjadi ketika ini banyak kehancuran, musibah, dan saling menjatuhkan pendapat di dunia maya(media sosial) dikarenakan banyak orang berfatwa menyesatkan yang sebetulnya disebabkan ia pribadi menggali aturan dari alqur'an dan Hadits tanpa melalui mekanisme ijtihad dan tanpa mempelajari kitab Kuning.
Wallahu A’lam...

No comments:

Post a Comment