Pengertian Ikhlas berdasarkan bahasa yakni sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang sanggup mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” bila sama sekali tidak tercampur dengan adonan dari luar, dan dikatakan “harta ini yakni murni untukmu” maksudnya yakni tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam mempunyai harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah ihwal perempuan yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50).
Dan sesungguhnya pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang higienis antara tahi dan darah, yang gampang ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl: 66).
Maka tatkala mereka berputus asa daripada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua diantara mereka: “Tidakkah kau ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil kesepakatan dari kau dengan nama Allah dan sebelum itu kau telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu saya tidak akan meninggalkan negeri Mesir, hingga ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia yakni hakim yang sebaik-baiknya”. (QS. Yusuf: 80). Yaitu para saudara Yusuf menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka tanpa ada orang lain yang menyertai pembicaraan mereka.
Pengertian Ikhlas Menurut Syara'
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan nrimo namun hakikat dari definisi-definisi mereka yakni sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa nrimo yakni “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu bila engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.
Ada yang menyampaikan juga bahwa nrimo yakni “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu bila engkau sedang melaksanakan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan insan untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka ihwal perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu sebenarnya engkau nrimo dalam amalanmu itu untukNya.
Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menyebabkan perhatiannya kepada perkataan insan sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menyebabkan perhatiannya kepada Robb manusia, lantaran yang jadi patokan yakni keridhoan Allah kepadamu (meskipun insan tidak meridhoimu).
Ada juga menyampaikan bahwa nrimo yakni “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya dan nrimo yang benar (dan ini derajat yang lebih tinggi dari nrimo yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan perilaku baik dihadapan insan yakni lantaran kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan insan maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu.
Ada juga yang menyampaikan bahwa nrimo adalah, “melupakan pandangan insan dengan selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa sebenarnya orang-orang memperhatikanmu lantaran engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seolah-olah engkau melihat Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ihwal ihsan “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya dan bila engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan insan dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya?
Oleh lantaran itu hendaknya setiap orang takut jangan hingga ia jatuh dari pandangan Allah lantaran bila engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu dimanakah engkau akan binasa, bila Allah meninggalkan engkau dan menyebabkan engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu sumbangan Allah, dan tentunya akibat Allah pada hari alam abadi lebih keras dan lebih pedih. (Dari ceramah dia yang berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13).
Berkata Syaikh Abdul Malik, “Ikhlas itu bukan hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga berkaitan dengan dakwah kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja (tetap) diperintahkan oleh Allah untuk nrimo dalam dakwahnya”. Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan saya tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)..
Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan yakni dakwah yang dibangun lantaran untuk mencari wajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan hingga ada diantara kita dan kalian orang-orang yang bahagia bila dikatakan bahwa kampung mereka yakni kampung sunnah, bahagia bila masjid-masjid mereka disebut dengan masjid-masjid ahlus sunnah, atau masjid mereka yakni masjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau masjid pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya.
Dan ini yakni petaka yang sangat menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang sedang ia menyangka bahwa ia sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak masjid yang saya lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya dzohirnya berada di atas sunnah lantaran disebabkan rusaknya batin mereka, dan alasannya yakni berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid yakni yang pertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhati-hati…”
No comments:
Post a Comment