Monday, 14 October 2019

Jadi Pintar Mengungkap Kebenaran Tawasul, Benarkah Tawasul Itu Syirik?


Berdoa merupakan salah satu perbuatan yang sangat dianjurkan agama. Namun tidak jarang kita temui seseorang mendatangi ulama tertentu yang diyakini akrab kepada Allah SWT. Kedatangan orang tersebut dalam rangka memohon proteksi doa serta memohon untuk disambungkan segala permintaannya kepada Allah SWT. Inilah yang disebut tawassul. Bagaimanakah aturan tawassul?

Tawassul merupakan salah satu cara yang diayakini mempercepat terkabulnya doa. Dalam tawassul ada keutamaan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, biar kau menerima keberuntungan" (QS.Al-Maidah : 35)

Ayat di atas memperlihatkan pengertian bahwa kita harus mencari jalan atau cara untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Salah satu cara tersebut dengan melaksanakan tawassul. Dengan tawassul kita mengakibatkan para kekasih Allah SWT sebagai mediator menuju Allah SWT demi mencapai hajat. Itu karena kedudukan dan kemuliaan para kekasih Allah di sisi-Nya. Dengan ini, sanggup dipahami bahwa tawassul yaitu satu anutan dalam Islam dan di dalamnya terdapat keutamaan.

Sehubungan dengan ayat di atas, Al-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, menjelaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk bisa hingga kepada Allah kecuali dengan mediator guru (al-mu'allim) yang bisa mengajarkan kita perihal pengetahuan (ma'rifat) perihal Allah SWT. Maka posisi guru di sini juga berfungsi sebagai wasilah (perantara). Dari sini bisa disimpulkan bahwa keberadaan wasilah memang sangat penting.

Sedangkan wasilah itu sendiri yaitu sesuatu atau orang yang dijadikan perantara. Selain itu ada juga yang memperlihatkan definisi bahwa wasilah itu yaitu sesuatu yang menimbulkan kita akrab dengan orang lain. (Lihat :Tafsir ar-Razi, J.VI/ h.49; At-Ta'rifat, J.I/ h.84). Saat kita mengakibatkan sesuatu berupa amal baik kita sendiri atau amal baik orang lain sebagai wasilah, maka inilah yang kemudian disebut sebagi tawassul.

Kepada siapakah kita layak melaksanakan tawassul?


Tawassul dilakukan kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah SWT. Dalam hal ini, orang yang dimaksud yaitu Rasulullah SAW. Bahkan dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa seorang hamba yang telah melaksanakan kesalahan atau dosa, baik besar maupun kecil dibolehkan tiba kepada Rasulullah SAW. dalam rangka pertaubatan. Yakni untuk biar dirinya diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT dengan cara mengharap Rasulullah SAW memintakan ampun kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Al-Qur'an:

"Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka saat menganiaya dirinya tiba kepadamu, kemudian memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang" (QS. An-Nisa' : 64)

Namun dalam melaksanakan tawassul tidak hanya boleh kepada Rasulullah SAW. Tawassul boleh dilakukan kepada orang-orang yang keutamaannya dijamin oleh Rasul SAW. Orang-orang yang dimaksud antara lain yaitu para ulama' dan syuhada'. Hal ini menurut hadits :

"Ada tiga orang yang akan memperlihatkan syafaat kelak pada hari kiamat. Yaitu para Nabi, kemudian para ulama kemudian para syuahada" (HR. Ibnu Majah) (Lihat : Sunan Ibnu Majah, J.XIII/h.28)

Bahkan kebolehan melaksanakan tawassul kepada selain Rasulullah SAW pernah dilakukan oleh sahabat Umar ra. Yakni tatkala ia melaksanakan shalat Istisqa' (meminta hujan). Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat :

"Dari Anas bin Malik ra. bahwa sebenarnya apabila terjadi kemarau, Umar bin Khattab ra. meminta hujan dengan mediator Abbas bin Abdul Mutthalib ra. seraya berdoa : "Ya Allah kami pernah berdoa dan bertawassul kepadamu dengan Nabi SAW. Lalu engkau turunkan hujan. Dan kini kami bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan". Anas berkata, "Maka turunlah hujan kepada kami." (HR. Bukhari) (Lihat : Shahih al-Bukhary, J.IV/H.191)

Riwayat di atas memperlihatkan bahwa sahabat Umar ra. bertawassul kepada sahabat Abbas ra. Hal ini memperlihatkan bahwa bertawassul kepada selain Rasulullah SAW itu diperbolehkan. Termasuk juga bertawassul dengan para ulama, yang keutamaanya juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW. Tentang pengertian ulama, Al-Qur'an menjelaskan:

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". (QS. Fathir :28)

Ayat di atas menjelaskan bahwa dari sekian banyak hamba yang takut kepada Allah hanyalah ulama. Ar-Razi menafsirkan bahwa besarnya rasa "takut" di sini yaitu sesuai dengan pengetahuannya perihal Dzat yang ia takuti, yakni Allah SWT. Sebab hal ini tidak terlepas dari pengertian kata ulama' itu sendiri yang mempunyai makna orang-orang yang alim atau mengerti.
Nah, dengan pengetahuan yang ia mengerti inilah rasa takut kepada Allah muncul. Lebih jauh Ar-Razi menjelaskan bahwa sebaik-baik orang alim (memiliki pengetahuan) yaitu orang yang bila meninggalkan amal maka dia dicela alasannya ilmu yang dia miliki.

Dengan demikian, pengertian ulama yaitu orang yang mempunyai pengetahuan yang diamalkan untuk kebaikan karena rasa takutnya kepada Allah SWT semata. (Lihat : Tafsir ar-Razi J.XII/h.474)

Apakah melaksanakan tawassul itu syirik?


Sebelum menghukumi tawassul, mari kita perhatikan pengertian syirik. Syirik yaitu mengakibatkan sesuatu sebagai bandingan terhadap Allah dan menyembah selain-Nya. Seperti menyembah batu, kayu, matahari, raja, dan lain sebagainya. (Lihat : al-Kaba’ir, h.8) Sedangkan definisi tawassul sebagaimana dijelaskan di atas yaitu mengakibatkan seseorang sebagai mediator dalam perjuangan untuk memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah atau untuk mewujudkan keinginan dan cita-citanya.

Dengan demikian, orang yang melaksanakan tawassul tidak bisa digolongkan kepada orang yang syirik apalagi kafir. Sebab orang yang bertawassul tidak bermaksud untuk memohon atau menyembah kepada orang atau suatu benda.

Penting dicatat bahwa dalam hal ini kita mengakibatkan Rasulullah SAW sebagai mediator kita dalam berdoa. Bukan justru kita meminta kepada beliau. Sebab hal ini haram bahkan termasuk syirik. Sebab tidak ada dzat yang berhak disembah dan diminta karunianya, selain Allah Azza wa Jalla. Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment