Cara gampang supaya kesepakatan nikah anda bahagia. Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat di tunggu-tunggu oleh sepasang kekasih yang sudah di ma-buk cinta. Pernikahan juga merupakan syariat yang pertama kali diperintahkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Adam AS. biar insan menjadi tentram dan penuh kasih sayang. Namun tidak sedikit juga pasangan yang berakhir perpisahan, cinta yang dulu pernah bersemai sudah hilang entah kemana.
Dalam kesepakatan nikah anda tidak cukup hanya mengandalkan cinta, tapi juga kasih sayang yang mendalam. Bukan cinta yang hanya alasannya yaitu harta, tahta, ataupun kecantikan. Tapi cinta yang penuh kasih sayang yang akan menimbulkan ikatan kesepakatan nikah itu kekal abadi. Cintailah beliau sepenuh hati, setulus hati, bukan alasannya yaitu wajah atau tubuhnya. Seperti kata guru saya "bukan bagus yang membawa cinta, tapi cinta yang membawa cantik"
Allah SWT. berfirman : "Dan di antara gejala kekuasaan-Nya ialah Dia membuat untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat gejala bagi kaum yang berfikir" (QS. Ar-Ruum, 21).
Kata "tentram"dan "kasih sayang" dalam ayat diatas memberi pemahaman kepada kita bahwa seseorang yang menginginkan pernikahannya penuh kasih sayang, maka harus "tentram" terlebih dahulu.
Untuk Suami Wa 'asyiruhunna bil ma'ruf (perlakukankah istrimu dengan baik)
Untuk Istri Arrijalu qowwamuna alan nisa' (suami yaitu pemimpin dalam rumah tangga)
KETIKA .............. Mau Menikah Janganlah mencari isteri tapi carilah ibu bagi anak-anak. Jangan cari suami tetapi carilah ayah bagi anak anak
Mau Melamar Anda bukan sedang meminta kepada orang bau tanah Tetapi minta kepada TUHAN melalui orang tua
Akad Nikah Anda bukan nikah di depan aturan tetapi nikah di depan Tuhan
Resepsi Pernikahan Catat dan hitung semua tamu yang hadir dan mendoakan anda Dan berfikirlah untuk meminta maaf kepada mereka apabila anda ingin bercerai
KETIKA .............. Malam pertama Bersyukur dan berbahagialah bahwa anda sepasang anak insan bukan malaikat
Menempuh hidup berkeluarga sadarilah bahwa jalan yang akan anda tempuh bukan jalan yang bertabur bunga tetapi jalan yang penuh onak dan duri
KETIKA .............. belum mempunyai anak cintailah isteri atau suami anda seratus persen
Telah mempunyai anak jangan bagi cinta anda kepada suami, istri dan anak akan tetapi cintailah masing-masing seratus persen
KETIKA .............. Ekonomi Keluarga Belum Membaik Yakinkan bahwa pintu rizki akan terbuka lebar Berbanding lurus dengan tingkat ketaaatan suami isteri
Ekonomi Membaik Jangan lupa akan jasa pasangan hidup yang setia mendampingi kita disaat menderita
Anda yaitu Suami Boleh berrmanja-manja kepada isteri, tapi jangan lupa tanggungjawabnya
Anda yaitu Istri Tetaplah berjalan dengan gemulai dan lemah lembut, tapi selalu berhasil menuntaskan semua pekerjaan
KETIKA .............. Biduk rumah tangga sedang oleng Jangan saling berlepas tangan tapi sebaliknya semakin bersahabat berpegang tangan
Mendidik anak jangan berfikir orang bau tanah yang baik yaitu orang bau tanah yang tidak pernah murka akan tetapi orang bau tanah yang baik yaitu orang bau tanah yang jujur kepada anak
KETIKA .............. Anak bermasalah Yakinkan bahwa tidak ada anak yang tidak mau berhubungan dengan orang bau tanah yang ada yaitu anak yang merasa tidak didengar oleh orang tuanya
Ada PIL (pilihan lain) Jangan diminum cukuplah suami sebagai obat
Ada WIL (wanita lain)/b> Jangan turuti cukuplah isteri sebagai pelabuhan hati
KETIKA .............. Ingin Langgeng dan Harmonis Gunakan formula 7 K
Ketaqwaan
Kasih sayang
Kesetiaan
Komunikasi
Keterbukaan
Kejujuran
kesabaran
Bagaimana sulitkah? menyerupai judul artikel ini. Karena untuk membuat sebuah kesepakatan nikah senang itu sesulit membalikkan telapak kaki.
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa segolongan fuqaha', yakni jumhur (mayoritas ulama) beropini bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan zhahiriyah beropini bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirrin beropini bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.
Al-Jaziry menyampaikan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melaksanakan perkawinan, aturan nikah berlaku untuk hukum-hukum syara' yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan adakalanya mubah. Ulama Syafiiyah menyampaikan bahwa aturan asal nikah yaitu mubah, di sampkng ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia umumnya memandang aturan asal melaksanakan perkawinan ialah mubah.
Hal ini banyak dipengaruhi oleh pendapat ulama Syafi'iyah. Untuk mengetahui lebih terperinci status masing-masing aturan nikah sesuai dengan kondisi al ahkam al khamsah, berikut ini akan ditelaah secara sekilas:
1. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Wajib
Bagi orang yang telah memiliki kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka aturan melaksanakan perkawinan bagi orang tersebut yaitu wajib. Hal ini didasarkan pada rasionalitas aturan bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melaksanakan pernikahan, sedangkan menjaga diri itu wajib, maka aturan melaksanakan kesepakatan nikah itu wajib sesuai dengan kaidah: Sesuatu yang wajib tidak tepat kecuali dengannya, maka sesuatu itu aturan wajib juga.
2. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Sunnah
Bagi orang yang telah memiliki kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi jikalau tidak kawin tidak dikhawatirkan berbuat zina, maka aturan melaksanakan perkawinan bagi orang tersebut yaitu sunnah.
3. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Haram
Bagi orang yang tidak memiliki harapan dan tidak memiliki kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehigga bila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan isterinya, maka aturan melaksanakan perkawinan bagi orang tersebut yaitu haram.
4. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Makruh
Bagi orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan perkawinan juga cukup memiliki kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak memiliki harapan yang besar lengan berkuasa untuk sanggup memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.
5. Melakukan Perkawinan Yang Hukumnya Mubah
Bagi orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak dikhawatirkan akan berbuat zina dan bila melakukannya juga tidak akan menelantarkan isteri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.
Itulah artikel wacana 5 Hukum Melakukan Perkawinan / Pernikahan Dalam Islam, biar sanggup menjadi pernihakan senang dan langgeng.
Dari sudut pandang aturan yang berlaku di Indonesia baik dalam aturan islam atau aturan negara, nikah siri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah berdasarkan aturan agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri yakni ijab kabul illegal dan tidak sah.
Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang mengakibatkan perkawinan mereka sah berdasarkan aturan positif, yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan berdasarkan aturan Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menimbulkan perkawinan batal atau setidaknya cacat aturan dan sanggup dibatalkan.
Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternative, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan berdasarkan aturan agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan aturan mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemic berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai hukuman bagi yang melanggarnya.
Bagi umat Islam, kepentingan pencatatan itu sendiri bahwasanya memiliki dasar aturan Islam yang berpengaruh mengingat perkawinan yakni suatu ikatan perjanjian luhur dan merupakan perbuatan aturan tingkat tinggi. Artinya, Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa. Dalam Islam, perkawinan itu merupakan perjanjian yang sangat berpengaruh (mitsaqan ghalidhan).
Bagaimana mungkin sebuah ikatan yang sangat berpengaruh dipandang enteng? Mengapa nalar sebagian umat Islam terhadap wajibnya pencatatan perkawinan menyerupai mengalami distorsi? Perlu kita yakinkan kepada umat Islam bahwa pencatatan perkawinan hukumnya wajib syar’i. Sungguh sangat keliru apabila perkawinan bagi umat Islam tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan aturan yang berlaku.
Sedangkan ikatan perjanjian biasa, contohnya semacam utang piutang di forum perbankan atau jual beli tanah contohnya saja perlu dicatat, mengapa ikatan perkawinan yang merupakan perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Adalah ironi bagi umat Islam yang pemikiran agamanya mengedepankan ketertiban dan keteraturan tapi mereka mengebaikannya.
Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’ Ayat: 59 yang berbunyi sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jikalau kau berlainan pendapat wacana sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jikalau kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Berdasarkan dalil Firman Allah SWT tersebut di atas, sanggup ditarik garis tegas wacana adanya beban aturan “wajib” bagi orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul SAW dan juga taat kepada Ulil Amri. Sampai pada tahapan ini kita semua setuju bahwa sebagai umat yang beriman memikul tanggung jawab secara imperative (wajib) sesuai perintah Allah SWT tersebut.
Akan tetapi dikala perintah taat kepada Ulil Amri diposisikan sebagai wajib taat kepada pemerintah, otomatis termasuk di dalamnya perintah untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan, maka oleh sebagian umat Islam sendiri terjadi penolakan terhadap pemahaman tersebut sehingga masalah ijab kabul di bawah tangan masih banyak terjadi dan dianggap sebagai hal yang tidak melanggar ketentuan aturan syara'. Permasalahan masih banyaknya nikah sirri di kalangan umat Islam yakni terletak pada pemahaman makna siapakah yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut di atas.
Ada banyak pendapat mengenai siapakah ulil amri itu, antara lain ada yang menyampaikan bahwa ulil amri yakni kelompok Ahlul Halli Wa Aqdi dan ada pula pendapat yang menyampaikan bahwa ulil amri yakni pemerintah. Dalam goresan pena ini, penulis tidak ingin memperdebatkan wacana siapakah Ulil Amri itu. Yang perlu dikedepankan yakni bahwa pemahaman terhadap aturan Islam itu harus komprehensif sesuai dengan katakteristik aturan Islam itu sendiri.
Komprehensifitas (dari aturan Islam) itu sanggup dilihat dari keberlakuan aturan dalam Islam di mayarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi, yaitu bahwa: Hukum tidak ditetapkan hanya untuk seseorang individu tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-bangsa di dunia yang lainnya, baik bangsa penganut agama ahlulkitab maupun kaum penyembah berhala (paganis).
Dalam konteks ini perlu kiranya memahami budi budi aturan pada ayat tersebut di atas secara komprehensif. Oleh lantaran itu, pendekatan terhadap budi budi makna Ulil Amri dalam hubungannya dengan kewajiban pencatatan perkawinan bagi umat Islam, sanggup kita pahami bahwa Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan itu yakni merupakan produk legislasi nasional yang proses pembuatannya melibatkan banyak sekali unsur mulai dari Pemerintah, DPR, Ulama dan kaum arif pintar serta para hebat lainnya yang keseluruhannya merupakan Ahlul Halli wal Aqdi. Dengan demikian, apabila Undang-undang memerintahkan perkawinan harus dicatat, maka wajib syar'i hukumnya bagi umat Islam di Indonesia untuk mengikuti ketentuan undang-undang tersebut.
Pernikahan bagi umat Islam yakni sebuah keniscayaan dan ia merupakan sesuatu yang haq. Oleh lantaran ijab kabul yakni suatu kebenaran (haq) dalam Islam, maka perlu ada nizham atau system aturan yang mengaturnya. Sungguh sangat relevan saya nukilkan Atsar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, r.a.:
الحق بلا نظام سيغلبه الباطل باالنظام
Artinya : Sesuatu yang baik tanpa administrasi yang baik akan dikalahkan oleh kebatilan dengan administrasi yang baik.
Perkawinan yakni pintu gerbang menuju sebuah rumah tangga, dimana didalamnya terlibat dua orang manusia, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diikat oleh tali perkawinan, yang kesudahannya dari padanya terlibat pula bawah umur yang dilahirkan tanggapan pertalian nikah antara keduanya.
Selanjutnya, tujuan dari perkawinan yakni membentuk sebuah keluarga bahagia. Dalam perspektif ajaran islam terkenal dengan ungkapan keluarga sakinah. Keluarga sakinah yakni suatu ungkapan untuk menyebut sebuah keluarga yang penuh damai, tentram dan bahagia. Makara keluarga sakinah yakni sebuah keluarga yang ideal dalam rumah tangga, yang secara fungsional sanggup mengantar orang pada keinginan dan tujuan membangun keluarga.
Dan secara teoritis, membangun sebuah keluarga yang ideal-keluarga sakinah-biasanya jarang terjadi, tidak gampang ibarat membalik telapak tangan. Tapi butuh proses dan perjuangan,makanya dalam alqur'an surah ar-Rum ayat 21 memakai redaksi "Litaskunu Ilaiha" yang artinya bahwa Tuhan membuat perjodohan bagi insan semoga yang satu merasa tentram terhadap yang lain. Dalam gramatikal bahasa arab, "Litaskunu" pada ayat tersebut diatas, sebetulnya mempunyai makna yang bersifat akan tiba alias belum terjadi. Ini terlihat dari tata bahasa yang digunakan: semoga supaya tentram (litaskunu). Kata "agar supaya tentram" berarti belum terjadi. Karena itu butuh proses dan usaha untuk mewujudkannya.
Kembali pada pokok soal, bahwa dalam konteks keluarga sakinah dalam prosesnya tidak terjadi mendadak, tetapi memerlukan sebuah usaha dan pengorbanan serta pilar-pilar yang kokoh yang bisa membingkai bangunan keluarga dari terpaan topan kehidupan.
Jika kita menganalogikan keluarga sakinah bagai sebuah bangunan megah,maka sanggup dipastikan adanya pilar-pilar kokoh yang bisa menyangga bangunan tersebut menjadi tahan gempa dan tsunami kehidupan. Begitu pula keluarga sakinah, butuh pondasi iman dan taqwa serta lima pilar sebagai instrumennya, diantaranya:
Pertama, Sejatinya dalam membina rumah tangga pasangan suami istri tidak lepas dari duduk kasus yang selalu menggelinding dalam kehidupannya, oleh lantaran itu komunikasi mempunyai tugas penting dalam memecahkan dan menuntaskan sebuah masalah. Kita melihat dalam potret kehidupan sehari-hari banyak dijumpai pasangan suami istri yang terjebak dalam konflik berkepanjangan, hanya lantaran alasannya yang sepele dan remeh. Mereka tidak bisa mengungkapkan keinginan dan perasaan secara lancar kepada pasangannya, yang berdampak muncul salah paham dan memicu emosi serta kemarahan pasangan.
Ini memperlihatkan adanya komunikasi yang tidak lancar alias gagal, sehingga berpotensi merusak suasan hubungan antara suami dengan istri. Sekali lagi, disinilah pentingnya komunikasi yang aktif antara suami dan istri dalam menjalin hubungan dalam rumah tangga. Agar komunikasi antara suami dan istri bisa efektif, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak antara lain:
Mengetahui ragam komunikasi, dari berbicara, menulis, sampai memberikan pesan banyak sekali media.
Bersikap empati, memposisikan diri anda pada situasi perasaan dan pikiran yang sedang dialami pasangan.
Fleksibel, komunikasi kadang memerlukan suasana dan gaya serius, namun ada kalanya lebih efektif memakai suasana dan gaya santai.
Memahami bahasa non verbal, kadang ekspresi wajah dan bahasa badan pasangan anda sudah mengisyaratkan sesuatu pesan.
Jadilah pendengar yang baik, jangan mengusai komunikasi dengan terlalu banyak bicara dan tidak mendengar.
Egaliter, hilangkan sekat pembatas antara anda dengan pasangan yang menghalangi kehangatan komunikasi.
Hindarkan kalimat dan gaya yang menyakiti hati pasangan yang menghalangi kehangatan komunikasi.
Sampaikan pesan dengan lembut dan bijak,jangan berlaku bernafsu dalam komunikasi.
Gunakan bahasa dan media yang tepat, sesuai dengan situasi dan kondisi ketika melaksanakan komunikasi.
Pilih waktu, suasana dan daerah yang sempurna untuk mendukung kelancaran berkomunikasi.
Kedua, Kebersamaan dalam hal ini tidak sekedar kehadiran fisik belaka, namun adanya keterlibatan emosi pada seluruh anggotanya. Kebersamaan yang terjalin dengan kualitas yang bagus,tidak akan kuat oleh kuantitas waktunya, dalam arti yang lebih luas kebersamaan sanggup diartikan sebagai kekompakan. Karena suami dan istri yakni dua insan yang berbeda karakter, sehingga diharapkan suatu kekompakan dan kebersamaan dalam meraih sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Ada banyak sarana yang bisa kita mamfaatkan untuk membina kebersamaan dalam keluarga antara lain: Bercanda bersama, bermain bersama, berguru bersama, makan bersama dan sebagainya. Dengan demikian kebersamaan dalam keluarga akan memotivasi keterbukaan dalam keluarga.
Ketiga, Transparansi dalam hubungan suami dan istri. Artinya diharapkan administrasi yang transparan dalam suatu rumah tangga, sehingga sanggup menyehatkan dan juga sanggup memperlihatkan dampak aktual dalam menjaga stabilitas rumah tangga terhadap bentuk-bentuk virus penyakit dalam rumah tangga,seperti rasa curiga, perselingkuhan,rasa tidak dihargai dan tidak bisa berbagi.
Keempat, Perpecahan. Maksudnya pasangan suami istri harus bisa mengelolah konflik keluarga. Karena keluarga sakinah bukan berarti keluarga tanpa masalah,tapi lebih kepada adanya keterampilan untuk mengelolah konflik yang terjadi didalamnya. Secara garis besar, ada tiga jenis administrasi konflik dalam rumah tangga, yaitu mencegah terjadinya konflik, mengelolah konflik jika terlanjur berlangsung, dan membangun kembali perdamaian sesudah konflik redah.
Kelima, Berdzikir kepada Allah, maka seorang hamba akan jadi bahagia. Pada pilar pamungkas ini yaitu berdoa kepada Allah, dengan memohon pertolonganNya semoga keluarga yang kita berdiri menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Karena doa yakni otak dan sarinya ibadah, yang mengandung arti mengakui atas kelemahan diri dan meyakinkan atas kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. Sebab hanya dengan ridha Allah semuanya bisa terwujud, termasuk membangun keluarga sakinah.
Dari diskripsi ini sanggup kita tarik benang merahnya, bahwa untuk menggapai keluarga sakinah dibutuhkan pilar-pilar yang kokoh yaitu: adanya komunikasi yang baik, menjalin kebersamaan, transparansi, hindari perpecahan, dan banyak berdoa. Insyaallah dengan yakin, dengan lima pilar ini kita sanggup menggapai perahu keluarga bahagia, yang berlabu didermaga keluarga sakinah mawaddah warahmah. Wallahu a'lam bisshowab.
Fenomena ijab kabul di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi lantaran beberapa factor yang melatarbelakanginya.
Tentu saja untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan faktor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya ijab kabul sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri sanggup disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat
Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi; belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut.
Permasalahannya ialah, mengapa begitu rendah kesadaran aturan sebagian masyarakat kita, dan bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kesadaran aturan bagi mereka, semua itu tentu merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah aturan di Indonesia belum memiliki kesadaran aturan yang tinggi, hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat itu sendiri melainkan juga disebabkan kurang maksimalnya tugas dan upaya lembaga pemerintahan yang ada, dalam hal ini Kementerian Agama dan Pemda setempat kurang intensif memperlihatkan edukasi terhadap masyarakat wacana betapa pentingnya mencatatkan perkawinan mereka.
Di wilayah Pelosok terutama daerah pedalaman dan terpencil, rendahnya kesadaran aturan masyarakat akan pentingnya mencatatkan perkawinan sanggup kita lihat di beberapa desa yang dominan penduduknya muslim, ternyata ada banyak masyarakat yang perkawinannya tidak dicatat oleh KUA setempat. Hal ini sanggup diketahui dengan jelas, dengan banyaknya masyarakat yang mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapat legalisasi perkawinan mereka secara aturan Negara.
Banyaknya kasus permohonan isbat nikah tersebut tidak terlepas dari perjuangan pimpinan Pengadilan Agama setempat yang telah berupaya mengadakan penyuluhan aturan terutama di daerah kecamatan tertentu yang dominan masyarakatnya beragama Islam. Melihat antusiasme masyarakat untuk mendapat pengesahan nikah mereka di Pengadilan Agama sehabis memperoleh pemahaman aturan tersebut, memperlihatkan bahwa kesadaran aturan masyarakat justeru mulai bangkit.
Diharapkan dimulai dari meningkatnya kesadaran tersebut merupakan awal yang baik bagi terciptanya kesadaran masyarakat secara keseluruhan di daerah daerah tersebut. Karena dengan kesadaran ini setidaknya jikalau mereka menikahkan anak-anaknya nanti tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama yang pernah mereka lakukan.
Dengan demikian, rendahnya tingkat kesadaran aturan masyarakat ibarat itu perlu ditingkatkan melalui acara penyuluhan aturan baik secara formal yang dilakukan oleh lembaga instansi terkait maupun secara informal melalui para penceramah di lembaga pengajian majelis ta’lim dan lain sebagainya.
2. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa ndeso terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus ijab kabul Syekh Puji dengan perempuan di belum dewasa berjulukan Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan tumpuan kasatmata perilaku apatis terhadap keberlakuan aturan Negara. Dari pemberitaan yang ada, sanggup kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, ijab kabul tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan kedua, dia tidak mau mengajukan permohonan keringanan kawin meskipun sudah terang calon isteri tersebut masih di bawah umur.
Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh seorang public figure, sungguh merupakan kendala besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh lantaran itu penanganan secara aturan atas kasus yang menimpa Syekh Puji yaitu sempurna semoga tidak menjadi preseden yang jelek bagi bangsa Indonesia yang ketika ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum.
3. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta aturan dan/atau norma aturan tersebut bersama-sama sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan lantaran pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.
Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah menciptakan RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang hingga ketika ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai hukuman yang terang bagi yang melanggarnya.
Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai bahaya pidana bagi yang melanggarnya.
Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatan perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling usang 6 (enam) bulan. Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai eksekusi kurungan paling usang 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melaksanakan acara perkawinan dan bertindak seakan-akan sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling usang 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya ijab kabul sirri.
4. Ketatnya Izin Poligami
UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memperlihatkan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melaksanakan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melaksanakan poligami hanrus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:
isteri tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
isteri mendapat cacat tubuh atau penyakit yang tidak sanggup disembuhkan;
isteri tidak sanggup melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)
Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:
adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
adanya kepastian bahwa suami bisa menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;
Yang dimaksud bisa menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya yaitu sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya yaitu sangat subjektif sifatnya, sehingga evaluasi terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.
Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut sanggup menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” yaitu perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau memakai izin palsu.
Ketatnya izin poligami juga mengakibatkan yang bersangkutan lebih menentukan nikah di bawah tangan atau nikah sirri lantaran pelangsungan (tata cara) ijab kabul di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.
Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk sanggup poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 wacana Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi Tentara Nasional Indonesia harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.
Sulit dan lamanya proses serta kendala berupa birokrasi dalam pinjaman izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diperlukan jadi tumpuan dan teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.
Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu (poligami: Pen) memperlihatkan menurun drastis namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:
tidak adanya kesadaran aturan yang tinggi dari masyarakat;
bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu lantaran kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu usang dan sulit;
tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;
Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:
hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, perempuan simpanan;
bagi mereka yang beragama Islam, melaksanakan poligami tanpa pencatatan nikah.
Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir memperlihatkan bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu faktor timbulnya ijab kabul di bawah tangan, atau ijab kabul yang tidak dicatat, alias nikah sirri.
Seperti kita tahu bahwa talak seorang suami kepada istrinya secara umum diucapkan dengan kalimat talak / cerai. Lalu bagaimana kalau suami tersebut bisu dan ingin menceraikan istrinya, dan bagaimana caranya?
Jawaban Talaknya orang bisu dengan instruksi atau dengan goresan pena dan posisinya disamakan dengan klarifikasi (bayan) dengan menggunakan ucapan.
Ibaroh:
إيماء الأخرس وكتابته كالبيان باللسان بخلاف معتقل اللسان, وقال الشافعي هما سواء في وصية ونكاح وطلاق وبيع وشراء وقود وغيرها من الأحكام. (حاشية رد المحتار, 6-737)
Semoga bermanfaat...
Referensi: Hasyiyah Rad al-Muhtar, juz 6 halaman 737
Pendapat Ulama Tentang Pernikahan Dini Dalam Islam. Perkawinan dua manusia merupakan sunatullah. Hanya saja sebelum masuk ke dunia rumah tangga, keduanya dipastikan benar-benar siap dan mengerti maksud janji perkawinan. Lalu bagaimana dengan calon mempelai yang terdiri atas anak-anak di bawah umur?
Masalah ini juga membelah pendapat ulama. Jumhur atau lebih banyak didominasi ulama memandang umur bukan serpihan dari kriteria calon mempelai. Oleh karenanya, mereka menganggap sah perkawinan anak kecil di bawah umur. Hal ini disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:
ولم يشترط جمهور الفقهاء لانعقاد الزواج: البلوغ والعقل، وقالوا بصحة زواج الصغير والمجنون. الصغر: أما الصغر فقال الجمهور منهم أئمة المذاهب الأربعة، بل ادعى ابن المنذر الإجماع على جواز تزويج الصغيرة من كفء
Artinya, "Mayoritas ulama tidak mensyaratkan baligh dan aqil untuk berlakunya janji nikah. Mereka beropini keabsahan perkawinan anak di anak-anak dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi anak di bawah umur, berdasarkan jumhur ulama termasuk ulama empat madzhab, bahkan Ibnul Mundzir mengklaim ijmak atau konsensus ulama ihwal kebolehan perkawinan anak di anak-anak yang sekufu,"
(Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 179).
Pandangan jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah riwayat hadits yang berkenaan dengan perkawinan anak di bawah umur. Sedangkan beberapa ulama menolak perkawinan anak di bawah umur. Mereka mendasarkan pandangannya pada Surat An-Nisa ayat 6 yang membatasi usia perkawinan sebagai kutipan berikut ini:
المبحث الأول ـ أهلية الزوجين :يرى ابن شبرمة وأبو بكر الأصم وعثمان البتي رحمهم الله أنه لا يزوج الصغير والصغيرة حتى يبلغا، لقوله تعالى: {حتى إذا بلغوا النكاح} [النساء:6/4] فلو جاز التزويج قبل البلوغ، لم يكن لهذا فائدة، ولأنه لا حاجة بهما إلى النكاح. ورأى ابن حزم أنه يجوز تزويج الصغيرة عملاً بالآثار المروية في ذلك. أما تزويج الصغير فباطل حتى يبلغ، وإذا وقع فهو مفسوخ
Artinya, "Pembahasan pertama, kriteria calon mempelai. Ibnu Syubrumah, Abu Bakar Al-Asham, dan Ustaman Al-Bitti RA beropini bahwa anak kecil pria dan wanita di anak-anak dilarang dinikahkan hingga keduanya baligh, berdasarkan ‘Sampai mereka mencapai usia nikah,’ (Surat An-Nisa ayat 6). Kalau juga perkawinan dilangsungkan sebelum mereka baligh, maka perkawinan itu pun tidak menawarkan manfaat sebab keduanya belum berhajat pada perkawinan. Ibnu Hazm beropini bolehnya perkawinan anak kecil wanita di anak-anak dengan dasar sejumlah riwayat hadits ihwal ini. Sedangkan janji perkawinan anak kecil pria di anak-anak batal hingga anak itu benar-benar baligh. Kalau perkawinan juga dilangsungkan, maka beliau harus difasakh,"
(Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H] cetakan kedua, juz VII, halaman 179).
Dari keterangan ini, kita sanggup menarik selesai bahwa ulama berbeda pendapat ihwal masuk atau tidaknya umur sebagai kriteria calon mempelai. Ini yang membedakan persetujuan dan penolakan atas perkawinan anak di bawah umur.
Meskipun jumhur ulama mendapatkan perkawinan anak di bawah umur, hanya saja kita perlu mempertimbangkan terutama duduk masalah kesiapan psikologis dan kematangan nalar pikiran calon mempelai sebelum melangkah ke jenjang perkawinan.
Kami sendiri baiklah dengan pendapat Ibnu Syubrumah dan beberapa ulama yang menolak perkawinan di anak-anak sebab perkawinan memerlukan kesiapan mental, kedewasaan berpikir, dan juga kematangan fisik untuk menafkahi keluarga, bukan sekadar pertimbangan biologis.
Kami menyarankan batas minimal usia calon mempelai mengikuti ketetapan yang dibentuk oleh pemerintah. Kalau umur calon mempelai terlalu jauh di bawah umur, perkawinan akan jauh dari tujuan dan dikhawatirkan kandas di tengah jalan di samping mudarat yang lebih besar.
Wali Nikah Tidak Setuju Bagaimana Solusi Dalam Pandangan Islam. Ketika kedua mempelai akan melangsungkan pernikahan, tiba-tiba ayah (wali) dari pihak istri keluar secara belakang layar dengan alasan kurang menyetujui, tetapi ia masih berada di sekitar desa daerah dilangsungkannya pernikahan. Karena walinya tidak ada, alhasil digantikan kepada pamannya.
Pertanyaan Bagaimana pandangan fikih perihal insiden di atas?
Jawaban Kalau calon pasangan suami istri tersebut dianggap kufu’ (serasi), maka pewaliannya pindah ke tangan hakim. Kalau paman tersebut bertindak sebagai wali, atau paman tersebut mewakilkan kepada hakim, maka nikahnya fasid (rusak). Jika terjadi persetubuhan, maka menjadi persetubuhan yang syubhat harus ijab kabul lagi.
Ibaroh:
وكذا يزوج السلطان ان عضل القريب ولو مجبرا أوالمعتق أي امتنع أوعصبته إجماعا لكن بعد ثبوت العضل عنده بامتناع منه أو سكوته بحضرته بعد أمره به والمرأة والخاطب حاضران أو وكيلهما أو بينة بعد تعززه أو تواريه, نعم إن فسق بعضله لتكرره منه عدم غلبة طاعاته معاصيه كما ذكروه في الشهادات زوج الأبعد وإلا فلا, لأن العضل صغيرة. (نهاية المختاج, 6-234)
Referensi: Santri Salaf Menjawab - Pustaka PP. Sidogiri Cetakan ke III Hal 675