Jika melihat puasa dengan kacamata fikih, ibadah puasa bukanlah hal yang terlalu berat. Artinya dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk anak-anak yang masih dibawah umur.
Puasa lahiriah berada dibatas minimal sebuah kewajiban syariat, ketentuan yang harus dilakukan bersifat kongkrit dan dapat dirasakan secara jasmaniah, sebatas pengekangan biologi biar tidak melaksanakan hal-hal yang dihentikan dalam puasa. Simak juga puasa 4 madzhab
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menyatakan kewajiban puasa dalam pandangan fikih ada lima:
Meneliti awal bulan
Niat melaksanakan puasa semenjak malam hari
Menghindari masuknya sesuatu ke dalam badan dengan sengaja dalam keadaan ingat bahwa dirinya berpuasa
Menghindari hal-hal yang menyebabkan hadats besar
Menghindari muntah yang disengaja
Menurut Imam Ghazali ketentuan fikih diatas masih jauh dari batas ideal sebuah ibadah puasa, ketentuan fikih dibentuk biar sebuah anutan (puasa) dapat diterapkan untuk kalangan awam yang lalai dari Tuhan dan terpengaruhi oleh kepentingan duniawi.
Melihat ibadah puasa dengan kacamata tasawuf-akhlak. Rasulullah SAW bersabda: “banyak orang yang berpuasa, yang ia dapatkan hanyalah lapar dan haus”. Sabda Rasulullah ini menegaskan bahwa rata-rata orang puasa masih belum sanggup menyentuh batin dari puasa itu sendiri. Seringkali hanya sebatas urusan kulit, yang penting tidak makan, minum dan lain-lain sebagaimana klarifikasi pada artikel sebelumnya Puasa Tingkat Pemula Sekedar Mengekang Biologis
Jika puasa hanya berlandaskan jasmaniah saja, maka sangat minim buah moral dan spiritual dari ketabahan kita menahan lapar dan haus itu. Puasa ialah separuh dari kesabaran, sebab inti dari puasa ialah menahan nafsu. Jika dipahami lebih luas, nafsu yang ditahan itu tidak sekedar makan dan minum, tapi juga nafsu lain yang mempunyai imbas negative tidak kalah ‘seram’
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali merumuskan puasa tingkat menengah dengan enam pokok diluar kewajiban puasa yang ditetapkan oleh ulama fikih. Puasa tingkat menengah ini ialah puasa orang-orang shalih:
Menjaga pandangan dari hal-hal yang menyebabkan ia lupa kepada Allah
Menjaga pengecap dari ucapan yang tidak mempunyai kegunaan yang dihentikan Allah
Menjaga indera pendengaran semoga tidak mendengarkan apa yang tidak disukai Allah, kata yang haram diucapkan juga haram didengar
Menjaga kaki, tangan, dan potongan badan yang lain dari perbuatan dosa, dan perbuatan yang tidak disukai Allah
Tidak berlebihan dalam mengkonsumsi masakan (tentunya masakan yang halal) hingga perutnya penuh
Setelah berbuka, hati menjadi gelisah sebab khawatir puasanya tidak diterima
Puasa yang sudah memenuhi syarat-syarat diatas akan membuahkan banyak hasil bagi kualitas moral dan keimanan. Maka tidak heran Imam Ghazali menegaskan bahwa puasa mewakili 25 persen dari keimanan kita. Rumusan puasa ini menurut paradigm tasawuf yang menyentuh ibdah tidak hanya pada bentuk luar, tapi juga membawa ibadah ke dalam potongan yang lebih prinsipil, yaitu untuk apa ibadah itu?
Dalam bahasa Imam Ghazali, tasawuf berbeda dengan fikih dalam mengartikan kata sah. Bagi tasawuf arti sah berarti diterima, sedangkan diterima berarti mencapai tujuan. Tujuan puasa ialah sebisa mungkin menggandakan malaikat,, mereka tidak mempunyai nafsu, dan insan sebisa mungkin menahan nafsu mereka semoga sanggup berkumpul dengan para makhluk suci itu
Dengan demikian berarti arti dari kata “menahan” sebagai makna puasa, tidak hanya menahan makan-minum dan lainnya, tapi juga menahan seluruh nafsu itu sendiri.