Showing posts with label Haji. Show all posts
Showing posts with label Haji. Show all posts

Monday, 4 February 2019

Jadi Cendekia Aturan Orang Renta Dihajikan Oleh Anak Yang Belum Haji


Saya berencana menghajikan kedua orang renta lantaran memang keduanya belum pernah berhaji. Hal ini saya lakukan semata-mata sebagai bakti anak kepada kedua orang tua. Tetapi yang perlu diketahui saya ini juga belum pernah haji. Yang ingin saya tanyakan, apakah menghajikan kedua orang renta terlebih dahulu padahal saya belum pernah haji sanggup diperbolehkan? Dan bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Menghajikan kedua orang renta tentu merupakan sebuah amal kebajikan dan merupakan salah satu bukti bakti anak kepada keduanya. Sebab, sebagai anak berbuat kebajikan kepada kedua orang renta atau yang dikenal dengan istilah birrul walidain ialah sebuah kewajiban tak tersangkal.

Sampai di titik ini bekerjsama tidak ada perkara berarti. Masalah kemudian muncul dikala si anak menghajikan kedua orang tuanya, sementara ia sendiri belum berhaji. Biasanya alasan yang dikemukakan ialah lebih lantaran sebagai penghormatan dan bakti sang anak kepada kedua orang tuanya, alasan lainnya usia keduanya sudah sepuh padahal belum berhaji.

Alasan-alasan ini tampak sangat logis dan gampang dimengerti. Tetapi apakah alasan-alasan ini benar-benar sanggup diterima secara nalar. Bisa jadi jawabnya iya, tapi sanggup juga tidak.

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam dan diwajibkan bagi setiap mulsim yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh syara’. Sedangkan tindakan sang anak dengan memberangkat kedua orang tuanya terlebih dahulu sebelum dirinya termasuk tindakan memperlihatkan kesempatan terlebih dahulu kepada pihak lain dalam soal ibadah.

Dari sini kemudian terlihat terperinci persoalannya, yaitu bagaimana aturan memberangkatkan haji kedua orang tua, sementara pihak yang memberangkatkan belum menunaikan kewajiban haji tersebut, padahal haji ialah ibadah wajib dan termasuk rukun Islam.

Untuk menjawab perkara ini kami akan menghadirkan salah satu kaidah fikih yang termaktub dalam kitab Al-Asybah wan Nazhair. Bunyi kaidah tersebut ialah “bahwa mendahulukan pihak lain dalam perkara ibadah ialah makruh.”

اَلْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ

Artinya, “Mendahulukan pihak lain dalam perkara ibadah ialah makruh,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1403 H, halaman 116).

Kaidah ini mengandaikan bahwa mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah dihukumi makruh. Dengan kata lain, sebaiknya tindakan mendahulukkan ini dihindari. Berbeda dengan sebaliknya, yaitu mendahulukan atau lebih mementing orang lain daripada diri sendiri dalam hal yang berkaitan dengan non-ibadah maka sangat dianjurkan.

وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ قَالَ تَعَالَى وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Artinya, “Dan mendahulukan orang lain dalam perkara selain ibadah itu sangat baik. Allah SWT berfirman, ‘Dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas dirinya sendiri, padahal mereka juga memerlukan,’ (Surat Al-Hasyr ayat 9),” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, halaman 116).

Oleh lantaran itu, maka Sulthanul Ulama` Syekh Izzuddin Abdus Salam memandang, dilarang mendahulukan orang lain dari dirinya sendiri dalam soal ibadah. Sedangkan argumentasi yang dikemukakan ia ialah bahwa esensi atau tujuan ibadah intinya untuk mengagungkan Allah SWT. Karenanya, dikala ada seseorang yang mendahulukan atau mengutamakan pihak lain ketimbang dirinya dalam soal ibadah, maka orang tersebut dianggap mengabaikan pengagungan kepada-Nya.

قَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ لَا إِيثَارَ فْي الْقُرُبَاتِ فَلَا إِيثَارَ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ وَلَا بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلَا بِالصَّفِّ الْأَوَّلِ لِأَنَّ الْغَرْضَ بِالْعِبَادَاتِ التَّعْظِيمُ وَالْإِجْلَالُ فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلَالَ الْإِلَهِ وَتَعْظِيمَهُ

Artinya, “Syekh Izzuddin berkata, dilarang mengutamakan orang lain sementara dirinya membutuhkan dalam hal ibadah. Karenanya, dilarang mengutamakan orang lain dalam hal air untuk bersuci, menutup aurat, dan shaf pertama dalam shalat jamaah. Sebab, esensi dari ibadah ialah mengagungkan Allah SWT. Oleh lantaran itu barangsiapa yang lebih mengutamana orang lain ketimbang dirinya dalam soal ibadah, maka ia telah mengabaikan pengagungan kepada-Nya,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, halaman 116).

Jika klarifikasi ini ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka jawabannya ialah tindakan seorang anak yang menghajikan kedua orang renta sementara ia sendiri belum pernah berhaji ialah boleh tetapi makruh. Sebab tujuan ibadah ialah pengagungan kepada Allah SWT.

Hal ini selaras dengan kaidah di atas yang menyatakan, “Bahwa mendahulukan pihak lain dalam perkara ibadah ialah makruh.” Karena dihukumi makruh, maka sebaiknya tidak perlu dilakukan. Yang paling baik ialah berhaji sendiri gres kemudian menghajikan kedua orang tuanya.

Sumber: www.nu.or.id

Thursday, 31 January 2019

Jadi Cendekia Ongkos / Biaya Naik Haji Hasil Menjual Tanah? Bagaimana Pendapat Ulama?


Ibadah haji termasuk rukun islam yang kelima, dimana banyak ummat islam berkeinginan untuk menunaikannya lantaran memang tak semua orang bisa melaksanakannya. Kewajiban naik haji tidak mutlak untuk setiap muslim, tapi hanya bagi mereka yang bisa saja (man istatha'a ilaihi sabila).

Bagi mereka yang berekonomi cukup tentu merupakan hal gampang untuk ongkos naik haji, namun bagi warga tak bisa atau yang hidup dibawah kesederhanaan tak semuadah membalikkan telapak tangan. Bahkan sebagian dari mereka rela mengorbankan harta yang termasuk aset masa depan ibarat dengan menjual tanah miliknya, hanya untuk menunaikan ibadah haji.

Lalu bagaimana pandangan fiqih ihwal orang naik haji dengan menjual tanah? Yuk kita intip pendapat para ulama berikut ini.

Haji yaitu ibadah mulia pada waktu dan kawasan mulia. Ia yaitu ibadah yang dilakukan dengan tenaga dan harta. Oleh lantaran kemuliaan itu jamaah haji merupakan tamu Allah SWT.

baca juga: Orang bau tanah dihajikan anak yang belum haji

Karena memerlukan fisik yang memadai dan cukup ongkos, kemampuan fisik dan finansial menjadi syarat wajib haji. Kemampuan fisik dan kecukupan ongkos inilah merupakan penunjang seseorang dalam ibadah haji sebagai keterangan Al-Mawardi berikut:

وَالِاسْتِطَاعَةُ السَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ مُسْتَطِيعًا بِمَالِهِ وَبَدَنِهِ فِي ذَهَابِهِ وَعَوْدِهِ، لَكِنَّهُ عَادِمٌ لِنَفَقَةِ عِيَالِهِ في الحج فَلَا حَجَّ عَلَيْهِ لِرِوَاْيَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ فَكَانَ الْمُقَامُ عَلَى الْعِيَالِ وَالْإِنْفَاقُ عَلَيْهِمْ أَوْلَى مِنَ الْحَجِّ

Artinya, “Ketujuh, seseorang mempunyai kemampuan harta dan fisik dikala berangkat dan pulangnya. Tetapi orang yang tidak mempunyai biaya nafkah untuk keluarga dikala ia berhaji tidak ada kewajiban haji padanya sesuai hadits riwayat Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Seseorang cukup dianggap berdosa lantaran menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.’ Kedudukan ada pada keluarga. Menafkahi keluarga lebih utama daripada haji,”

Referensi: Abul Hasan Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994 M/1414 H], cetakan pertama, juz IV, halaman 13

Dari keterangan Al-Mawardi terperinci bahwa selain kemampuan biaya untuk keperluannya mulai dari berangkat hingga pulang, seseorang juga dituntut untuk meninggalkan biaya hidup untuk orang rumahnya selama ditinggal ibadah haji. Seseorang dilarang berangkat haji tanpa menutupi keperluan nafkah orang rumah sebagai keterangan Al-Bujairimi berikut ini:

قَوْلُهُ: (مُدَّةَ ذَهَابِهِ وَإِيَابِهِ) لِأَنَّهُ إذَا لَمْ تَفْضُلْ عِنْدَ ذَلِكَ كَانَ مُضَيِّعًا لَهُمْ فَلَا يَجُوزُ لَهُ السَّفَرُ بِدُونِ دَفْعِ ذَلِكَ لَهُمْ، فَقَدْ قَالَ: (كَفَى بالمرء إِثْماً أن يضيعَ مَنْ يَقُوتُهُ)

Artinya, “Redaksi (selama pergi dan pulangnya) lantaran bila tidak ada kelebihan harta, maka ia menyia-nyiakan mereka (keluarga) sehingga ia dilarang menempuh perjalanan itu tanpa menyerahkan nafkah itu untuk mereka. Rasulullah SAW bersabda, ‘Seseorang cukup dianggap berdosa lantaran menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya,’”

Referensi: Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz III, halaman 188

Nafkah untuk orang rumah bukan hanya biaya makan. Nafkah untuk orang rumah juga meliputi kebutuhan sandang dan juga kebutuhan pengobatan bila diperlukan. Orang yang tidak bisa menutupi kebutuhan nafkah orang rumahnya haram untuk mengadakan perjalanan haji. Syekh Sulaiman Jamal mengangkat perkara ini sebagai berikut:

شَوْبَرِيٌّ (قَوْلُهُ: أَيْضًا عَنْ مُؤْنَةِ عِيَالِهِ) أَيْ وَكِسْوَتِهِمْ…، وَيَدْخُلُ فِيهَا إعْفَافُ الْأَبِ وَأُجْرَةُ الطَّبِيبِ وَثَمَنُ الْأَدْوِيَةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ إنْ اُحْتِيجَ إلَيْهَا لِئَلَّا يَضِيعُوا فَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ )كَفَى بِالْمَرْءِ إثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَعُولُ( وَيَحْرُمُ الْحَجُّ عَلَى مَنْ لَا يَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ ا هـ

Artinya, “Syaubari, redaksi (juga dari ongkos keluarganya) maksudnya juga pakaian mereka… Termasuk ongkos itu yaitu biaya kebutuhan yang menjaga wibawa orang tuanya (dari meminta-minta), ongkos dokter, biaya obat, dan biaya sejenisnya bila diharapkan supaya mereka tidak sia-sia. Rasulullah SAW bersabda, ‘Seseorang cukup dianggap berdosa lantaran menyia-nyiakan keluarganya.’ Orang yang tidak bisa menanggung ongkos itu haram untuk berhaji,”

Referensi: Syekh Sulaiman Jamal, Hasyiyatul Jamal alal Manhaj, [Beirut: Daru Ihayait Turats Al-Arabi, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 381

baca juga: Keistimewaan haji akbar

Indonesia dan Arab bukan jarak yang dekat. Ongkos yang dibutuhkan untuk menempuh keduanya tidak sedikit. Untuk menutupinya, seseorang bergerak dalam bidang perjuangan harus memasukkan laba usahanya ke dalam ongkos haji yang diperlukan. Tetapi tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk memaksakan diri menjual perkakas profesinya atau ternak penarik bajak sawahnya sebagai keterangan berikut ini:

ويلزم صرف مال تجارته إلى الزاد والراحلة وما يتعلق بهما ولا يلزمه بيع آلة محترف ولا كتب فقيه ولا بهائم زرع أو نحو ذلك

Artinya, “(Ia) harus menyerahkan harta perjuangan ke dalam biaya bekal, ongkos kendaraan, dan yang terkait keduanya. Tetapi ia tidak mesti menjual alat-alat kerja, buku-buku fiqih, ternak untuk bajak sawah, atau seumpama itu,”

Referensi: Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2002 M /1422 H], cetakan pertama, halaman 198

Penjelasan Syekh Nawawi Banten ini mempertegas bahwa orang yang tidak bisa tidak perlu memaksakan diri untuk berangkat haji. Pasalnya, ongkos haji itu merupakan akumulasi dari aset kebutuhan pokok primer sandang, pangan, papan. Orang yang tidak bisa sebaiknya mengutamakan kebutuhan nafkah keluarganya sebagai keterangan Abdullah Al-Mushali Al-Hanafi berikut ini:

وأما كونه فاضلا عن الحوائج الأصلية فلأنها مقدمة على حقوق الله تعالى، وكذا عن نفقة عياله لأنها مستحقة لهم، وحقوقهم مقدمة على حقوق الله تعالى لفقرهم وغناه

Artinya, “Adapun kondisinya lebih dari kebutuhan pokok lantaran kebutuhan itu didahulukan daripada hak-hak Allah. Demikian juga nafkah keluarga lantaran itu yaitu hak mereka. Hak mereka harus diutamakan dibanding hak Allah lantaran kefakiran mereka dan kecukupan Allah,”

Referensi: Abdullah Al-Mushali Al-Hanafi, Al-Ikhtiyar li Ta’lilil Mukhtar, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, tanpa catatan tahun], juz I, halaman 140

Kalau asumsinya memaksakan diri, keterangan di atas terperinci menegaskan larangan untuk berangkat haji. Tetapi Syekh Ibnu Nujaim Al-Hanafi merinci perkara status ‘mampu haji’ dan mana aset yang bisa dijual untuk digunakan sebagai ongkos haji yang tidak kecil bagi jemaah haji Indonesia sebagai berikut:

وَفِي قَوْلِهِ وَمَا لَا بُدَّ مِنْهُ إشَارَةٌ إلَى أَنَّ الْمَسْكَنَ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مُحْتَاجًا إلَيْهِ لِلسُّكْنَى فَلَا تَثْبُتُ الِاسْتِطَاعَةُ بِدَارٍ يَسْكُنُهَا وَعَبْدٍ يَسْتَخْدِمُهُ وَثِيَابٍ يَلْبَسُهَا وَمَتَاعٍ يَحْتَاجُ إلَيْهِ وَتَثْبُتُ الِاسْتِطَاعَةُ بِدَارٍ لَا يَسْكُنُهَا وَعَبْدٍ لَا يَسْتَخْدِمُهُ فَعَلَيْهِ أَنْ يَبِيعَهُ وَيَحُجَّ بِخِلَافِ مَا إذَا كَانَ سَكَنَهُ وَهُوَ كَبِيرٌ يَفْضُلُ عَنْهُ حَتَّى يُمْكِنُهُ بَيْعُهُ وَالِاكْتِفَاءُ بِمَا دُونَهُ بِبَعْضِ ثَمَنِهِ وَيَحُجُّ بِالْفَضْلِ فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ بَيْعُهُ لِذَلِكَ كَمَا لَا يَجِبُ بَيْعُ مَسْكَنِهِ وَالِاقْتِصَارُ عَلَى السُّكْنَى بِالْإِجَارَةِ اتِّفَاقًا بَلْ إنْ بَاعَ وَاشْتَرَى قَدْرَ حَاجَتِهِ وَحَجَّ بِالْفَضْلِ كَانَ أَفْضَلَ لِأَنَّ هَذَا الْمَالَ مَشْغُولٌ بِالْحَاجَةِ الْأَصْلِيَّةِ إلَيْهِ أَشَارَ فِي الْخُلَاصَةِ وَأَشَارَ بِقَوْلِهِ وَمَا لَا بُدَّ مِنْهُ إلَى أَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يَفْضُلَ لَهُ مَالٌ بِقَدْرِ رَأْسِ مَالِ التِّجَارَةِ بَعْدَ الْحَجِّ إنْ كَانَ تَاجِرًا وَكَذَا الدِّهْقَانُ وَالْمُزَارِعُ أَمَّا الْمُحْتَرِفُ فَلَا كَذَا فِي الْخُلَاصَةِ وَرَأْسُ الْمَالِ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ النَّاسِ

Artinya, “Dalam redaksi (sesuatu yang tidak ada jalan daripadanya) terkandung instruksi bahwa rumah yaitu sesuatu yang niscaya diharapkan untuk kawasan tinggal. Tidak ada status ‘mampu haji’ alasannya rumah yang ditempati, budak yang digunakan tenaganya, harta benda yang diperlukannya. Seseorang menyandang status ‘mampu haji’ lantaran mempunyai rumah yang tidak ditempati dan budak yang tidak digunakan tenaganya. Ia boleh menjualnya kemudian berhaji. Lain halnya bila rumah yang ditempatinya besar, lebih dari cukup, sehingga memungkinkan baginya untuk menjualnya kemudian merasa cukup dengan sebagian hasil penjualannya kemudian berhaji dengan kelebihannya, maka ia tidak wajib menjualnya. Sama halnya ia tidak wajib menjual rumahnya dan merasa cukup memenuhi kebutuhan tinggalnya dengan mengontrak atau sewa dari orang lain sesuai setuju ulama. Tetapi bila seseorang menjual rumahnya dan membeli rumah lagi sesuai kebutuhan papannya kemudian berhaji dengan sisa penjualan tentu itu lebih utama. Pasalnya, semua harta itu sedang digunakan untuk kebutuhan primer ibarat instruksi dalam Al-Khulashah. Dalam redaksi (sesuatu yang tidak ada jalan daripadanya) terkandung instruksi bahwa ia harus mempunyai sisa harta sebesar modal sepulang haji bila ia seorang pengusaha. Demikian halnya dengan pedagang dan petani. Sedangkan orang yang berprofesi sebagai pengrajin tidak disyaratkan mempunyai kelebihan harta untuk disebut ‘mampu’ sebagai disebut dalam Al-Khulashah. Sementara jumlah modal perjuangan tentu berbeda sesuai dengan keragaman kondisi tiap-tiap orang,”

Referensi: Syekh Zainuddin Ibnu Nujaim Al-Hanafi, Al-Bahrur Ra’iq, tanpa catatan tahun, juz II, halaman 337

Dari pelbagai keterangan di atas perkara penjualan tanah tidak bisa dianggap secara otomatis sebagai upaya memaksakan diri. Tetapi penjualan tanah atau rumah bisa juga termasuk upaya memaksakan diri untuk menutupi kebutuhan ongkos naik haji yang tidak murah. Singkat kata, kita tidak menyimpulkan secara hitam dan putih mengenai perkara ini.

Dari banyak sekali keterangan di atas, kita sanggup menarik sebuah anutan bahwa ongkos naik haji yaitu biaya di luar kebutuhan nafkah orang di rumah. Artinya, ongkos naik haji bukan biaya hasil pengurangan nafkah orang rumah.

Persoalan nafkah juga bukan sekadar problem makan dan pakaian. Nafkah juga di masa kini ini juga menjadi perkara kompleks seiring kompleksitas masyarakat. Nafkah kini ini juga meliputi pendidikan formal atau pelatihan-pelatihan untuk membuatkan skil ibarat keterangan Syekh Sulaiman Jamal di atas. Pasalnya, tantangan masa kini berbeda dengan kurun dulu. Jangan hingga memaksakan diri berangkat haji tanpa menyandang status “mampu” kemudian mengabaikan keluarga. Hal ini disinggung oleh Surat An-Nisa ayat 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya, “Hendaklah takut orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang khawatir atasnya. Karenanya, takutlah kepada Allah. Hendaklah mereka berkata dengan ucapan yang benar,”

Referensi: An-Nisa ayat 9

Berikut ini kami kutip keterangan singkat perihal Surat An-Nisa ayat 9 dari Tafsir Jalalain:

وَلْيَقُولُوا) لِمَنْ حَضَرَتْهُ الْوَفَاة (قَوْلًا سَدِيدًا) صَوَابًا بِأَنْ يَأْمُرُوهُ أَنْ يَتَصَدَّق بِدُونِ ثُلُثه وَيَدَع الْبَاقِي لِوَرَثَتِهِ وَلَا يَتْرُكهُمْ عَالَة

Artinya, “(Hendaklah mereka berkata) kepada orang yang bersahabat dengan janjkematian (dengan ucapan yang benar) sempurna dengan mengingatkannya supaya berzakat kurang dari sepertiga hartanya dan meninggalkan sisanya untuk hebat warisnya serta tidak meninggalkan mereka dalam keadaan fakir yang meminta-minta,”

Referensi: Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dan Al-Mahalli, Tafsirul Jalalain, [Damskus: Darul Fajril Islami, 2002 M/1423 H], cetakan pertama, halaman 78

Alhamdulillah jumlah jemaah haji Indonesia sekurangnya pada 15 tahun terakhir selalu tinggi bahkan terjadi antrean panjang pada daftar tunggu hingga sekian tahun ke depan. Semoga jemaah haji Indonesia termasuk mereka yang menyandang status “mampu” dan tidak mengabaikan kebutuhan nafkah keluarga.

Demikian dari kami, semoga bisa menjadi rujukan untuk menambah wawasan kita semua. Amin...

Sumber: www.nu.or.id

Jadi Pintar Apa Dan Bagaimana Keistimewaan Haji Akbar Yang Wukuf Hari Jumat?


Apa dan Bagaimana Keistimewaan Haji Akbar Yang Wukuf Hari Jumat? Sering kali kita dengar wacana haji akbar yang pelaksanaan wukuf bertepatan dengan hari jumat. Lalu apa keistimewaan haji akbar dibandingkan dengan haji menyerupai biasanya?

Jawaban:
Jika terkumpul antara keutamaan hari jum'at dan keutamaan hari arofah maka memiliki kelebihan atas hari-hari lainnya. Oleh kesannya menjadi masyhur dengan nama Haji Akbar ketika wukuf dihari jum'at. Dan sebab bertepatan dengan hajinya Nabi shollallohu alaihi wasallam, ketika haji wada' wukuf pada hari jum'at. [Kasyful Qina'].

Wukuf di hari jum'at ada kelebihan dari pada 70 kali haji dan diampuni dosa setiap orang tanpa perantara. Hari paling utama yakni hari arofah ketika bertepatan dengan hari jum'at, dan lebih utama daripada 70 kali haji selain jum'at. [Roddul Mukhtar]. Dikatakan, keistimewaannya yakni semua orang yang wukuf pada ketika itu diampuni oleh Allah ta'ala tanpa perantara, sedangkan jikalau selain jum'at dengan perantara. [Mugnil muhtaj]. Wallohu a'lam.

Referensi:
  • Kasyful Qina' fiqih hambali (1/496)
  • Roddul mukhtar fiqih hanafi (2/261)
  • Mugnil muhtaj fiqh Syafi'iyah (1/497)