Showing posts sorted by relevance for query syarat-syarat-qashar-shalat-di-dalam. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query syarat-syarat-qashar-shalat-di-dalam. Sort by date Show all posts

Monday, 30 September 2019

Jadi Akil Syarat-Syarat Qashar Shalat Di Dalam Perjalanan


Qashar shalat bisa dilakukan apabila telah mencapai syarat berikut :

1. Perjalanan jauh


yakni perjalanan yang mencapai jarak 2 marhalah/16 farsakh (48 mil) atau lebih. Jika diukur dengan ukuran modern, maka kalangan ulama berbeda pendapat sebagai berikut : Menurut dominan ulama, 2 marhalah yakni 120 km. Menurut Al-Jurdani dalam Fathul ‘Allam yakni 89,40 km. Menurut Majdul Hamawi yakni 82,5 km. Menurut Syaikh Daibul Buqha yakni 81 km. Menurut Syaikh Al-Kurdi dalam Tanwirul Qulub yakni 80,640 km

Perjalanan sejauh dua marhalah ini tidak meninjau waktu, dengan artian, apabila dua marhalah bisa dilalui dalam waktu yang singkat, musafir tetap diperbolehkan meng-qashar shalatnya. Demikian pula, perhitungan jauh tersebut diukur keberangkatannya saja, tidak dihitung dengan pulangnya.

2. Tahu bahwa qashar diperbolehkan


Makara orang yang tidak tahu jikalau qashar itu diperbolehkan, maka qasharnya tidak sah, lantaran dianggap main-main dalam melaksanakan ibadah, ibarat orang yang hanya ikut-ikutan melaksanakan shalat dua raka’at.

3. Perjalanan mubah


Perjalanan mubah ini meliputi perjalanan yang wajib, sunat, dan makruh. Apabila perjalanan misafir yakni perjalanan maksiat, maka dihentikan melaksanakan qashar shalat, lantaran tujuan syara’ memperbolehkan qashar yakni dalam rangka rukhsah (member keringanan hukum). Sedangkan rukhsah tidak bisa dikaitkan dengan kemaksiatan.

Adapun musafir yang tergolong maksiat ada tiga :

  1. العاصي بالسفر
    Artinya yakni tujuan pokok atau sebagian besar dari perjalanan tersebut untuk maksiat. Seperti tujuan mau nonton konser, wanita keluar rumah dalam keadaan nusyuz (menentang suaminya), juga bepergiannya orang yang punya hutang yang sudah jatuh tempo, padahal ia bisa untuk membayarnya. Walaupun tujuan maksiat digabung dengan yang tidak maksiat ibarat nonton konser sambil silaturrahim, dll.

    Musafir yang bepergian dengan tujuan ibarat ini tidak diperbolehkan meng-qashar shalatnya, kecuali ditengah perjalanannya bertaubat dan bersedia merubah tujuan maksiatnya. Dengan catatan sisa perjalanannya masih mencapai dua marhalah, lantaran awal safarnya dihitung dari daerah ia bertaubat.
  2. العاصي بالسفر في السفر
    Adalah orang yang bepergian dengan tujuan baik namun ditengah perjalanan niatnya berkembang menjadi maksiat. Seperti orang yang bepergian untuk silaturrahim, namun ditengah perjalanan niatnya dirubah dengan tujuan nonton konser. Musafir ibarat ini dihentikan meng-qashar shalatnya kecuali ia bertaubat.
  3. العاصي في السفر
    Adalah orang yang bepergian dengan tujuan baik namun ditengah perjalanan melaksanakan kemaksiatan dengan tanpa merubah niat asal. Seperti tujuan orang mencari ilmu, namun ditengah perjalanan beliau mampir kerumah pacarnya. Musafir ibarat ini diperbolehkan meng-qashar shalatnya secara mutlak.

4. Memiliki tujuan yang jelas


Artinya diperbolehkannya musafir melaksanakan qashar apabila mempunyai tujuan yang terperinci dan tahu bahwa daerah yang dituju mencapai dua marhalah walaupun tidak memilih tujuan secara khusus. Seperti orang pamekasan hendak pergi ke pasuruan, dimana orang tersebut tahu bahwa jarak pamekasan dengan pasuruan sudah mencapai dua marhalah, meskipun tanpa menentuka pasuruan bab mana yang akan dituju.

5. Tidak berma’mum kepada orang yang menyempurnakan shalatnya


6. Niat qashar ketika takbiratul ihram


7. Tetapnya perjalanan hingga simpulan shalat


Adalah ketika musafir melaksanakan qashar, beliau harus tetap berstatus sebagai musafir, tidak mukim, sehingga apabila dipertengahan shalatnya si musafir tidak berstatus musafir lagi, baik niat mukim ditengah-tengah shalatnya atau ragu apakah beliau niat mukim atau tidak, maka musafir tersebut wajib menyempurnakan shalatnya.

8. Menjaga hal-hal yang sanggup menafikan niat qashar


Sehingga apabila dalam pertengahan shalatnya ragu, apakah beliau niat qashar atau tidak, maka seketika itu juga beliau harus menyempurkan shalatnya.

Jadi Akil Batas-Batas Safar Bagi Para Musafir


Batas awal safar (bepergian) yaitu suatu batas dimana jikalau seseorang telah melalui batas ini sudah dinamakan musafir (orang yang bepergian), sehingga boleh melaksanakan jamak atau qashar apabila memenuhi syarat-syaratnya.

Batas awal safar ini berbeda-beda meninjau keadaan kawasan pemukiman yang ditempati oleh orang yang akan bepergian. Keadaan kawasan pemukiman tersebut antara lain :

  1. Orang yang bertempat tinggal di kawasan yang padat bangunan (baik pedesaan atau perkotaan) apabila tempat itu mempunyai batas, baik berbentuk tugu atau yang lain, maka awal safarnya yaitu dengan melalui batas tempat tersebut, apabila tempat tersebut tidak mempunyai batas sama sekali, atau ada batasnya  namun tujuan perjalanan si musafir tidak melalui batas tersebut (sebagaimana batas desanya ada di sebelah barat sedangkan tujuan perjalanannya kearah timur), maka batas awal safarnya yaitu dengan melalui simpulan bangunan yang di nisbatkan pada tempat tersebut.
  2. Bagi orang yang bertempat tinggal disuatu tempat yang tidak terdapat rumah atau bangunan, ibarat dihutan atau padang pasir, maka awal safarnya yaitu dengan meninggalkan tempat dimana ia membisu berdasarkan ‘uruf (kebiasaan)nya.

Dua poin diatas merupakan ketentuan bagi musafir yang melaksanakan perjalanan darat. Sekarang apabila yang ditempuh perjalanan laut, ibarat orang tang tinggalnya di pesisir, maka batas awal safarnya yaitu dengan berangkatnya bahtera yang ditumpangi.

Batas Akhir Safar


Batas simpulan safar yaitu suatu batas dimana seseorang yang bepergian sudah tidak dikatakan musafir lagi, sehingga tidak diperbolehkan melaksanakan jamak dan qashar, lantaran masa perjalanannya dianggap sudah habis.

Ketentuan batas simpulan safar yang mengakibatkan tidak diperbolehkannya musafir melaksanakan rukhshah qashar maupun jamak dibagi menjadi beberapa bab sebagaimana berikut :

  1. Musafir telah hingga pada batas tempat tinggalnya walaupun hanya sekedar lewat atau tidak memasukinya.
  2. Musafir telah hingga pada batas desa lain, dimana ia sebelumnya sudah ada niat untuk bermukim ditempat tersebut.
  3. Musafir telah hingga dibatas desa lain dimana sebelumnya ia sudah tahu bahwa ia akan menetap di desa tersebut selama 4 hari 4 malam atau lebih.
  4. Niat kembali / pulang ke desanya, baik ada hajat atau tidak atau niat kembali ketempat lain selain desanya, sedangkan si musafir tidak mempunyai keperluan ketempat lain tersebut atau ada kebimbangan dihati musafir , apakah ia pulang atau tidak.

Perjalanan sanggup dikatakan berakhir sehingga tidak diperbolehkan melaksanakan jamak dan qashar apabila memenuhi tiga syarat berikut :

  1. Ketika niat, musafir dalam keadaan membisu (tidak sedang berjalan), apabila timbulnya niat saat si musafir sedang berjalan, ibarat sedang naik bus atau kendaraan yang lain, maka niat ini tidak besar lengan berkuasa terhadap kelangsungan safar.
  2. Perjalanannya belum hingga pada tempat yang dituju.
  3. Musafir tidak berstatus sebagai pengikut (independen, atau bepergian berdasarkan kehendaknya dan mempunyai tujuan sendiri)

Contoh : pak gufron yaitu orang yang berdomisili di desa tlanakan pamekasan. Suatu hari ia ingin pergi ke kota Surabaya, ternyata sesudah hingga di bangkalan, ia memutuskan untuk kembali ke tlanakan.

Pada pola ini , sesudah pak gufron memutuskan untuk kembali ke tlanakan, secara otomatis perjalanannya dianggap berakhir, lantaran sudah memenuhi tiga syarat diatas.

Sekarang apabila niat pulang tadi ternyata digagalkan dan si musafir meneruskan perjalanannya ke Surabaya. Maka hitungan safar dimulai dari bangkalan bukan dari tlanakan. Dengan artian, apabila jarak antara bangkalan dengan Surabaya tidak mencapai masafatul qashri (jarak yang memperbolehkan meng-qashar shalat), ia tidak diperbolehkan melaksanakan jamak-qashar.