Showing posts with label Binatang. Show all posts
Showing posts with label Binatang. Show all posts

Wednesday, 30 January 2019

Jadi Arif Bagaimana Aturan Sembelih Kambing Untuk Kurban Sekeluarga?


Bagaimana Hukum Sembelih Kambing Untuk Kurban Sekeluarga?. Belakangan ini saya bingung atas beredarnya kabar seorang ustadz yang membolehkan kurban seekor kambing untuk beberapa orang alasannya Rasulullah SAW pernah melakukannya. Padahal yang saya tahu semenjak dulu, kurban kambing hanya untuk satu orang.

Pertanyaan saya, bolehkah kita berkurban satu kambing untuk beberapa orang alasannya mengikuti kurban Rasulullah SAW? Mohon penjelasannya.

Jawaban
Penyembelihan binatang kurban merupakan ibadah yang sangat dianjurkan di musim-musim haji. Para ulama telah memilih waktu penyembelihan, cara penyembelihan, ketentuan pembagian daging kurban, dan juga binatang mana yang sanggup menjadi binatang kurban.

Rasulullah SAW pernah menyembelih satu binatang kurban yang diperuntukkan untuk dirinya dan umatnya yang demikian banyak itu. Hal ini sanggup diketahui dari doa yang dibaca Rasulullah dikala menyembelih binatang kurbannya sebagai berikut.

اَللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

Artinya, “Tuhanku, terimalah kurbanku ini untukku dan umatku.”

Hadits Rasulullah SAW ini dipahami oleh para ulama sebagai bentuk kepedulian Rasulullah SAW yang menyertakan umatnya dalam pahala kurban kambing yang beliau sembelih. Sedangkan kurbannya itu sendiri hanya diperuntukkan bagi dirinya. Dengan kurban Rasulullah, gugurlah tuntutan ibadah kurban terhadap semua orang. Dari sini ulama menyimpulkan bahwa aturan ibadah kurban itu intinya sunah kifayah yang bila dikerjakan oleh salah seorang dari mereka, maka tuntutan berkurban dari mereka sudah memadai. Lain soal jika kurban diniatkan nadzar, maka hukumnya menjadi wajib. Karenanya para ulama setuju bahwa satu kambing hanya sanggup diperuntukkan kurban bagi satu orang. Imam An-Nawawi menyebutkannya sebagai berikut.

تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد لكن إذا ضحى بها واحد من أهل البيت تأدى الشعار في حق جميعهم وتكون التضحية في حقهم سنة كفاية وقد سبقت المسألة في أول الباب

Artinya, “Seekor kambing kurban memadai untuk satu orang, dan tidak memadai untuk lebih dari satu orang. Tetapi jika salah seorang dari anggota keluarga berkurban dengan satu ekor, maka memadailah syiar Islam di keluarga tersebut. Ibadah kurban dalam sebuah keluarga itu sunah kifayah. Masalah ini sudah dibahas di awal bab,” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz 8, halaman 397).

Secara lebih jauh, Ibnu Hajar mengulas praktik kurban Rasulullah SAW. Menurutnya, kurban memang untuk satu orang. Tetapi orang yang berkurban sanggup membuatkan pahala kepada orang lain.


تُجْزِئُ ( الشَّاةُ ) الضَّائِنَةُ وَالْمَاعِزَةُ ( عَنْ وَاحِدٍ ) فَقَطْ اتِّفَاقًا لَا عَنْ أَكْثَرَ بَلْ لَوْ ذَبَحَا عَنْهُمَا شَاتَيْنِ مُشَاعَتَيْنِ بَيْنَهُمَا لَمْ يَجُزْ ؛ لِأَنَّ كُلًّا لَمْ يَذْبَحْ شَاةً كَامِلَةً وَخَبَرُ اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ مَحْمُولٌ عَلَى التَّشْرِيكِ فِي الثَّوَابِ وَهُوَ جَائِزٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالُوا لَهُ أَنْ يُشْرِكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِ أُضْحِيَّتِهِ وَظَاهِرُهُ حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ أَشْرَكَهُ وَهُوَ ظَاهِرٌ إنْ كَانَ مَيِّتًا قِيَاسًا عَلَى التَّصَدُّقِ عَنْهُ وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَا يَأْتِي فِي الْأُضْحِيَّةِ الْكَامِلَةِ عَنْهُ بِأَنَّهُ يُغْتَفَرُ هُنَا لِكَوْنِهِ مُجَرَّدَ إشْرَاكٍ فِي ثَوَابِ مَا لَا يُغْتَفَرُ ثُمَّ رَأَيْت مَا يُؤَيِّدُ ذَلِكَ وَهُوَ مَا مَرَّ فِي مَعْنَى كَوْنِهَا سُنَّةَ كِفَايَةٍ الْمُوَافِقُ لِمَا بَحَثَهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ الثَّوَابَ فِيمَنْ ضَحَّى عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ لِلْمُضَحِّي خَاصَّةً لِأَنَّهُ الْفَاعِلُ كَالْقَائِمِ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ

Artinya, “(Seekor kambing) baik domba maupun kambing kacang itu memadai untuk kurban (satu orang) saja menurut janji ulama, tidak untuk lebih satu orang. Tetapi jika contohnya ada dua orang menyembelih dua ekor kambing yang membaur sebagai kurban bagi keduanya, maka dihentikan alasannya masing-masing tidak menyembelihnya dengan sempurna. Hadits ‘Tuhanku, inilah kurban untuk Muhammad dan umat Muhammad SAW,’ mesti dipahami sebagai komplotan dalam pahala. Ini boleh saja. Dari sini para ulama beropini bahwa seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya. Secara tekstual, pahala itu didapat bagi orang menyertakan orang lain. Ini jelas, meskipun orang yang disertakan itu sudah wafat. Hal ini didasarkan pada qiyas sedekah atas mayit. Tentu harus dibedakan antara sedekah biasa dan ibadah kurban sempurna. Karena di sini sekadar membuatkan pahala kurban dibolehkan. Saya melihat dalil yang memperkuat pernyataan ini ibarat pernah dijelaskan di mana aturan ibadah kurban ialah sunah kifayah. Hal ini sejalan dengan bahasan sejumlah ulama yang menyebutkan bahwa pahala orang yang berkurban untuknya dan keluarganya itu sejatinya untuk dirinya sendiri. Karena, orang pertama lah yang berkurban, sama halnya dengan orang yang menunaikan ibadah fardhu kifayah,”

(Lihat Ahmad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan keempat, tahun 2011, juz 4, halaman 354-355).

Bagaimana memahami kurban untuk satu orang sementara pahalanya sanggup untuk orang lain? Sulaiman Al-Bujairimi menuntaskan pernyataan yang tampak pertentangan itu. Menurutnya, dua pernyataan itu tidak saling menegasikan. Demikian keterangannya.

قَوْلُهُ : ( وَتُجْزِئُ الشَّاةُ ) فَإِنْ قُلْت إنَّ هَذَا مُنَافٍ لِمَا بَعْدَهُ حَيْثُ قَالَ : فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ ، وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ . أُجِيبُ : بِأَنَّهُ لَا مُنَافَاةَ لِأَنَّ قَوْلَهُ هُنَا عَنْ وَاحِدٍ أَيْ مِنْ حَيْثُ حُصُولِ التَّضْحِيَةِ حَقِيقَةً وَمَا بَعْدَهُ الْحَاصِلُ لِلْغَيْرِ إنَّمَا هُوَ سُقُوطُ الطَّلَبِ عَنْهُ ، وَأَمَّا الثَّوَابُ وَالتَّضْحِيَةُ حَقِيقَةً فَخَاصَّانِ بِالْفَاعِلِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

Artinya, “(Satu ekor kambing [untuk satu orang, tidak lebih]). Kalau Anda bertanya, ‘Pernyataan ini menafikan kalimat setelahnya yang menyebutkan (Kalau seseorang menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya, maka boleh)’, kami akan menjawab bahwa pernyataan pertama tidak menafikan pernyataan kedua. Karena, frasa ‘untuk satu orang’ di sini maksudnya ialah hakikat kurban. Sementara frasa selanjutnya hanya membuktikan gugurnya ajuan sunah ibadah kurban ‘untuk orang lain’. Sedangkan tentang pahala dan kurban secara hakiki bagaimanapun itu khusus hanya untuk mereka yang berkurban,”

(Lihat Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib, Beirut, Darul Fikr, 2007 M/1427-1428 H, juz 4, halaman 333).

Ada baiknya kami sertakan di sini argumentasi yang diajukan Ibnu Rusyd dari Madzhab Maliki. Ia menjelaskan kenapa ulama setuju kurban satu ekor kambing hanya untuk satu orang.

وذلك أن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، ولذلك اتفقوا على منع الاشتراك في الضأن. وإنما قلنا إن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، لأن الأمر بالتضحية لا يتبعض إذ كان من كان له شرك في ضحية ليس ينطلق اسم مضح إلا إن قام الدليل الشرعي على ذلك

Artinya, “Karena memang intinya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang. Karenanya para ulama setuju dalam menolak komplotan kurban beberapa orang atas seekor kambing. Kenapa kami katakan ‘pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang?' Pasalnya, perintah kurban tidak terbagi (untuk kolektif, tetapi per orang). Ketika orang bersekutu atas seekor binatang kurban, maka sebutan ‘orang berkurban’ tidak ada pada mereka. Lain soal jika ada dalil syara’ yang mengatakan itu,”

(Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, halaman 396).

Dari banyak sekali keterangan di atas, kita sanggup memahami bahwa ulama setuju atas kurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya sanggup dibagi kepada orang lain. Kaprikornus dua hal ini harus dipisahkan, antara kurban dan pahala.

Dari sini pula kita sanggup memahami bahwa hadits adakalanya sanggup pribadi dipahami secara tekstual. Tetapi adakalanya pemahaman sebuah hadits tertunda alasannya menuntut analisa dan kajian lebih mendalam, tidak sekadar tekstual.

Demikian tanggapan yang sanggup kami kemukakan. Semoga sanggup dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk mendapatkan saran dan kritik dari para pembaca.

Jadi Cerdik Sahkah Binatang Kurban Cacat Waktu Penyembelihan


Sudah banyak yang mengulas ihwal banyak sekali hal terkait binatang kurban menyerupai syarat, jenis, pengertian dan ketentuan serta aturan binatang kurban. Namun disini kita akan membahas hal yang berbeda ihwal bagaimana aturan binatang kurban yang cacat ketika penyembelihan, alasannya yaitu sebagaimana kita ketahui bersama bahwa binatang kurban harus dalam keadaan utuh fisiknya.

Makara ketika binatang qurban dibawa ke daerah lokasi penyembelihan, binatang tersebut mengamuk sampai patah tulang kakinya yang mengakibatkan jalannya pincang.

Pertanyaan:
1. Masih bolehkah berqurban dengan binatang tersebut ?
2. Bagaimanakah bila binatang tersebut sudah dijadikan qurban nadzar ?

Jawaban:
1. Jika Kurban sunah dengan binatang cacat (walaupun cacatnya waktu penyembelihan) maka hukumnya TIDAK SAH dan tidak mencukupi berdasarkan pendapat Ashoh, namun berdasarkan Imam As Subkiy : SAH dan mencukupi berkurban dengan binatang yang cacatnya waktu penyembelihan.

2. Dan bila cacatnya pada Kurban Wajib / Nadzar waktu menyembelih, alias waktu nadzar dalam keadaan selamat dari cacat maka SAH dan mencukupi buat qurbannya.

Ya. Berbicara problem qurban salah satu hal yang perlu diperhatikan yaitu kesehatan dan keutuhan seluruh anggota badan binatang tersebut, dalam artian binatang yang akan dijadikan sebagai binatang qurban yaitu binatang yang tepat fisiknya, dilarang binatang yang cacat menyerupai buta, pincang dan cacat badan lainnya. Namun kadangkala dalam proses merobohkan binatang tersebut untuk disembelih tak jarang menimbul cacat pada binatang kurban bakan kadang menjadikan patah kakinya. Bagaimana hukumnya bila patah kaki pada binatang qurban terjadi pada ketika dirobohkan untuk disembelih ? Misal Hewan Kurban Terkilir Saat Proses Penyembelihan.

Binatang yang patah kakinya atau pincang pada ketika yang dirobohkan untuk disembelih maka binatang tersebut tidak memadai lagi sebagai binatang qurban (udhhiyah) berdasarkan pendapat yang kuat. Hal ini diqiyaskan pada binatang yang cacat kakinya alasannya yaitu kecelakaan kemudian si pemilik menjadikannya sebagai qurban sebagaimana Imam Nawawi terangkan dalam kitab Majmu' Syarh Muhazzab.

Namun, apabila binatang tersebut merupakan binatang yang telah ditentukan sebagai kurban nazar (wajib) maka tetap disembelih sebagai nazar dan berlaku baginya aturan qurban alasannya yaitu kewajiban menyembelih binatang tersebut yaitu wajib ain (kewajibannya telah tertentu pada binatang tersebut) namun masih belum memadai sebagai udhiyyah yang diperintahkan syara.

Pincang yang menjadi malu yaitu yang berefek binatang itu akan tertinggal dari rombongannya ketika berjalan dalam rombongan. Wallohu a'lam.

Referensi:
  • ibaroh fathul qorib
  • Kitab bajuri syarah fathul qorib jilid dua halaman 298
  • Ibaroh Najmul wahhaj
  • Majmu' Syarh Muhazzab jilid 8 hal 400 Dar Fikr
  • Hasyiah Bujairimi `ala Khatib jilid 4 hal 334 Dar Fikr
  • Tuhfatul Muhtaj jilid9 hal 352 Dar Fikr
  • Hasyiah I`antuth Thalibin jilid 2 hal 378 Dar Fikr