Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Wednesday, 9 November 2022

Pasti Dapat Orang Paling Kaya Di Dunia

Pak Musalem manggut-manggut seraya menutup browser internet pada laptopnya. Ia begitu meresapi dan meyakini isi ceramah seorang ustadz yang diposting melalui website ternama di negeri ini.

manggut seraya menutup browser internet pada laptopnya PASTI BISA Orang Paling Kaya di Dunia

Memang, hampir setiap tamat shalat subuh lelaki paruh baya itu, setia membuka situs web yang berisi ceramah siraman rohani melalui perangkat laptop renta kesayangannya. Laptop yang dulunya dibeli secara kredit dan dicicil setiap bulannya.

Pak Musalem bersandar penuh pada kursi, merenungkan kembali isi artikel yang barusan dibacanya, menjadi orang paling kaya di dunia.

“Ada orang kaya dari segi materi. Harta benda banyak, tabungan dan deposito melimpah. Apa yang kurang dari orang itu? Tetapi ia masih merasa kekurangan dalam hidupnya,” begitu isi paragraf pembuka artikel siraman rohani itu.

Setiap hari sering dihimpit permasalahan yang sulit dipantau orang lain secara kasat mata. Banyak memikirkan hal-hal dunia yang berkaitan dengan harta bendanya. Mengurus kelanjutan perjuangan agar berkembang dengan pesat sehingga kadang kala sulit untuk tidur di malam hari. Bahkan untuk beristirahat saja seakan tidak mempunyai waktu.

Ada pula orang yang kaya dari segi ilmu dan pengetahuan. Banyak yang ia ketahui wacana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka banyak membaca. Semakin banyak membaca semakin banyak pula yang ia ketahui sehingga ia mempunyai wawasan yang luas wacana sesuatu. Namun kadang kala kewajiban sebagai umat muslim terlalaikan.

Kaya ilmu pengetahuan, namun semua itu belum berarti banyak bila belum menolong dirinya lantaran ilmu dan pengetahuan yang ia peroleh tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu pengetahuan hanya sekadar diketahui tetapi tidak banyak untuk diterapkan.

Di sisi lain tidak sedikit orang di sekitar daerah tinggal, secara lahiriah serba kekurangan. Namun sanggup mendapatkan nada dan irama kehidupan itu apa adanya.  Menjalani kehidupan dengan tabah dan tawakal.

Menerima dan menjalani hidup ini apa adanya dengan penuh rasa syukur. Inilah salah satu ciri orang yang kaya hati. Orang yang paling kaya di dunia.

Orang yang paling kaya di dunia yaitu orang-orang yang merasa cukup dan mensyukuri nikmat yang telah diterimanya. Dengan merasa cukup dan bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT, orang akan nyaman pikiran dan tentram hatinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
*****
Pak Musalem merasa bangun semangat. Ia bangun dari kursi. Segera mengganti sarung dengan celana harian di rumah. Kemudian melangkah menuju sisi dapur untuk mengambil sapu lidi.

Menyapu halaman rumah sebelum berangkat tugas, menjadi kebiasaannya setiap hari. Sekadar menggerakkan anggota badan atau olahraga kecil-kecilan kata anak zaman now.

Di usianya yang sudah memasuki kepala lima. Di ujung-ujung masa pensiun yang sudah merangkak menghampirinya. Pak Musalem justru tampak semakin bersemangat. Menapaki hari-hari berikutnya, yang mungkin sarat beban berat yang akan dipikulnya.

Beban berat?

Ya, pak Musalem mempunyai tanggungan keluarga yang tidak ringan. Belum seorang pun dari kelima anaknya yang bekerja. Semua anaknya masih dalam taraf pendidikan. Tiga orang di antaranya sedang mengikuti perkuliahan di akademi tinggi negeri dan swasta. Sedangkan dua orang lagi sedang menuntut ilmu di dingklik pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan SMA.

Pak Musalem dan istrinya memang seorang aparatur sipil negara dengan profesi guru. Namun tidak menyerupai guru lainnya. Ia hanya sebagai guru biasa dan tidak menerima pinjaman yang lebih menggiurkan dan sangat dikejar oleh guru. Begitu pula dengan buk Maryam istrinya.

Akan tetapi pak Musalem tak pernah berpikir untuk ikut mati-matian memperoleh pendapatan yang luar basa itu. Ia ingin fokus mencurahkan perhatian pada anak-anaknya yang sedang berjuang menggapai masa depannya. Bagaimana pun anak butuh perhatian dan motivasi penuh dari kedua orangtua.

Dapat dibayangkan bagaimana pak Musalem dan istrinya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai kuliah dan sekolah anak-anaknya. Biaya hidup dan pendidikan anak semakin mahal. Namun semua itu dihadapi dan dijalani oleh pak Musalem dan istrinya dengan tabah dan tawakal.

Pak Musalem tetap menjadi orang yang beruntung di tengah kehidupan ini. Kenapa tidak? Semua anaknya memang belum dewasa yang tahu diuntung. Mereka rajin berguru dan tidak banyak tingkah sehingga meraih prestasi di sekolah maupun di akademi tinggi.

Anak-anak pak Musalem memahami kesulitan kedua orangtuanya yang hanya mendapatkan honor biasa sebagai guru dan sudah niscaya tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan  sehari-hari. Oleh lantaran itu mereka berusaha untuk memberi semangat kepada orangtua dengan menunjukkan prestasi belajar.
Semangat hidup pak Musalem dan keluarganya menjadi motor pelopor untuk berguru menjadi orang paling kaya di dunia. (*Kiriman : Yasman Yazid, Makasar)

Sunday, 6 November 2022

Pasti Dapat Semua Sudah Menjadi Guratan Takdir

Bagaimana pun pandangan tetangga sekeliling, mas Yuda tetaplah suamiku. Pria yang telah menikahiku 30 tahun silam dan menawarkan tiga orang anak kepadaku. Sebagai kepala keluarga, mas Yuda akhir-akhir ini sering mendapat gunjingan dari tetangga sekitarnya.

Bagaimana pun pandangan tetangga sekeliling PASTI BISA Semua Sudah Menjadi Guratan Takdir

Perbedaan usia yang mencolok. Status pendidikan mas Yuda yang tidak tamat sekolah dasar. Tidak menciptakan saya surut untuk mendapatkan mas Yuda. Yang penting bagiku waktu itu kedua orangtuaku mendapatkan mas Yuda.  

Lagi pula mas Yuda sudah mapan dalam ekonomi. Mas Yuda berusaha sebagai pedagang rempah-rempah yang sukses. Aku pikir cocok dengan profesiku sebagai pegawai negeri dengan bekal ijazah SMP.

“Mas, saya menerimamu apa adanya meskipun usia kita jauh beda,” Begitu kataku usai menikah dengan mas Yuda.

“Apa kau tidak akan merasa aib alasannya yaitu saya tidak tamat SD, Yati?” tanya mas Yuda ragu-ragu.

“Tidak mas. Yang penting bagiku, mas bisa menjalankan kiprah sebagai kepala keluarga.” Sahutku meyakinkan mas Yuda.

*****

Kini, sesudah tiga puluh tahun berlalu.  Aku tak pernah membayangkan bakal mengalami kenyataan hidup ibarat kini ini. Mas Yuda nampak semakin tua. Sejak berhenti menjadi pedagang rempah-rempah, mas Yuda tidak mempunyai pekerjaan tetap. Apalagi kondisi badan mas Yuda semakin menurun. Tidak bisa lagi bekerja keras.

Mas Yuda bekerja apa saja untuk membantu kehidupan keluarga. Kadang-kadang menjadi buruh tani. Di ketika lain mas Yuda menyadap karet milik orang lain dan mendapatkan persenan.

Mas Yuda lebih banyak di rumah. Apalagi pekerjaan sebagaimana tinggal di pedesaan semakin sepi.

Kadang-kadang saya kasihan juga dengan mas Yuda. Ketika hendak berangkat kerja, mas Yuda akal-akalan sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak perlu dikerjakan. Padahal, penghasilanku sebagai pegawai negeri kantoran tidak mencukupi.

*****

Aku tak menyalahkan gunjingan tetangga sekeliling. Hampir semua tetangga mempunyai anak berpendidikan tinggi, menjadi sarjana. Padahal tetangga di sekitar lingkunganku kebanyak hanya seorang petani karet.

Ketika berkumpul dengan ibu-ibu yang bekerja di dapur dalam persiapan perhelatan tetangga, saya sering merasa risih. Mereka sering bercerita perihal sekolah dan pendidikan anak.  Tentang belum dewasa mereka yang sukses dan  berumah tangga.

Sementara anakku sendiri? Aku hanya mengurut dada. Menarik nafas berat mengingat nasib anak-anaku. Dua orang anakku putus sekolah di sekolah kejuruan alasannya yaitu tidak naik kelas. Seorang lagi memang telah menamatkan sekolah kejuruan namun kini merantau ke kota lain dan jarang pulang.

Aku tak menyesal jikalau anak-anakku putus sekolah. Anak-anakku memang malas berguru selama bersekolah. Padahal saya telah berusaha untuk membiayainya dengan baik semoga dia rajin belajar. Tetapi hal itu tak meresap ke dalam hati anak-anakku.

*****

Kini, saya juga menyadari jikalau pendidikan itu penting bagi anak. Dengan pendidikan yang memadai akan menciptakan anak menjalani hidupnya lebih kreatif dan layak. Memiliki semangat untuk mencari pekerjaan yang layak dan menjalani kehidupan yang lebih baik.  Dan itu sudah saya lihat sendiri belum dewasa tetangga yang sudah sukses.
Simak juga : Orang Paling Kaya di Dunia
Namun demikian tak mungkin saya meratapi kenyataan hidup ini. Semua sudah guratan takdir dari yang maha Kuasa. Jika anak-anaku gagal dalam pendidikan. Mungkin cucu-cucuku akan bisa menebus kenyataan ini dengan meneruskan pendidikannya setinggi mungkin. (*Kiriman : Purwadi, Jambi)

Friday, 29 April 2022

Pasti Dapat Di Terminal Dobok Batusangkar

Sebuah angkutan pedesaan memasuki terminal Dobok. Menurunkan beberapa orang penumpangnya, kemudian berlalu keluar terminal kembali. Salah seorang di antaranya lelaki mengenakan kaos oblong dengan stelan jeans usang.


            Sebuah ransel pakaian tersandang di pundak kanannya. Ia barusan dari rumah temannya di sebuah negeri di Kecamatan Padang Ganting. Sudah tiga hari ia berada di rumah temannya dalam rangka takziah. Teman kuliah dan satu kawasan kost di kota Padang.

Alizar, lekasi muda itu nampak nyengir kepanasan ditimpa terik matahari menjelang sore. Ia nampak kebingungan. Baru kali ini ia singgah di terminal kota budaya ini.
Wajahnya yang ditumbuhi infeksi mulai memerah diterpa sinar matahari. Alizar mencari-cari kawasan berlindung. Ia duduk di dingklik kayu di depan loket pembelian tiket  Bangku kayu memanjang yang sengaja disediakan petugas loket sebuah perusahaan angkutan umum di terminal Dobok Batusangkar.
Area terminal memang tidak terlalu luas. Namun demikian kendaraan dan orang-orang yang bersiliweran di dalam terminal, tidak begitu ramai.
Sesekali ia mengedarkan pandangan ke sekitar area terminal. Mencari-cari kendaraan beroda empat angkutan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke negerinya di Sumani.
“Ha, itu dia!” Alizar bergumam.
Spontan Alizar bangun dan menuju angkutan berwarna merah dan putih tersebut.
“Solok Solok Solok…” teriak biro terminal mencari calon penumpang yang akan ke kota Solok.
“Solok…” seru Alizar.
‘Ya, Solok naik….”
Alizar naik dan masuk ke dalam kendaraan beroda empat angkutan. Sejenak melirik kawasan yang masih tersedia untuknya. Lantas menempati dingklik persis di sebelah seorang perempuan. Tanpa melirik kesana kemari, Alizar meletakkan ransel pakaian di pangkuannya.
Sekadar iseng, Alizar menoleh ke arah perempaun yang duduk di sebelah kanannya. Sekilas ia menyidik perempuan ini kira-kira seusia dengannya. Sepertinya perempuan ini sudah bekerja.
“Mau ke Solok juga, buk?” Alizar bertanya dengan sapaan. Sekadar mengusir kesepian hatinya.
“Iya, Uda juga?” Wanita itu balik bertanya.
“Nggak hingga kesana, Sumani.”
“Oh, Sumani. Saya hanya hingga di Kacang,”
“Kerja apa, buk?” tanya Alizar kemudian.
“Guru,”
“Oh..,”
“Uda?”
“Kuliah. Calon guru juga, hehehe..Hm, jikalau boleh saya panggil siapa ke ibuk?”
“Yunita…, panggil saja Yuni,” ujar Yunita.
“Saya, Alizar…biasa dipanggil Ali…”balas Alizar tanpa diminta.
Angkutan umum yang berusia lanjut itu segera berangkat meninggalkan Terminal Dobok Batusangkar.
Tak begitu lama, bus ukuran tiga perempat itu sudah hingga di Ombilin. Kemudian menikung ke kiri menuju Solok. Alizar menoleh ke luar jendela beling bus. Menyaksikan indahnya pemandangan danau Singkarak di sore hari.
Sesekali Alizar mencuri pandang dengan berpura-pura menengok birunya air Danau Singkarak. Sebaliknya, Yunita merasa risih. Gadis itu sanggup merasakankalau dirinya dipandang oleh lelaki yang gres dikenalnya itu.
Tanpa terasa Yunita sudah hingga di tujuannya. Ia turun dan kendaraan yang membawa Alizar terus berliku-liku menyusuri pinggiran danau Singkarak.
*****
Kebetulan masa liburan semester sehingga Alizar sanggup berkunjung ke rumah kawasan kost Yunita. Tak begitu rumit bagi Alizar untuk mencari kawasan kost Yunita. Sore itu ia telah hingga di kawasan kostnya. Kebetulan Yunita sudah pulang bertugas.
Mereka bercengkrama dengan leluasa di ruang tamu kawasan Yunita kost. Begitu lancar, kata-kata mengalir dengan pelan bagai air pegunungan. Sejuk dan nyaman. Saling bercerita perihal diri masing-masing. Entah kenapa mereka begitu cepat dekat dan saling membuka diri, membuka hati.
Di hari terakhir libur semeteran di kampung, Alizar mampir kembali ke rumah kost Yunita. Alizar ingin berterus jelas perihal perasaannya kepada Yunita. Ternyata Yunita membalas isi hatinya.
Ketika hingga di kota Padang, Alizar menulis surat untuk Yunita. Surat pertama yang ia tulis untuk gadis yang telah membetot sukmanya. Seminggu kemudian surat balasannya datang.
Semangat Alizar kembali bangun sebab Yunita juga mencicipi apa yang ia rasakan. Begitulah, mereka saling kirim surat bila rasa kangen itu datang. Alizar ingin cepat menuntaskan kuliahnya. Kalau sanggup waktu ini sanggup disetel ibarat menyetel jam dinding.
Cepat selesai kuliah berarti cepat pula untuk bersanding di pelaminan dengan sang pujaan hati. Angan-angan Alizar semakin melambung tinggi di awan biru.   
*****
Hari demi hari berlalu begitu cepat terasa. Jarak yang memisahkan antara Alizar dan Yunita bukan menjadi kendala dalam jalinan kasih mereka. Surat menjadi penyambung rasa antara mereka berdua.
Akan tetapi, surat terakhir yang ditulis Alizar tidak kunjung dibalas oleh Yunita. Ini menciptakan hati Alizar semakin was was. Apa gerangan yang terjadi dengan Yunita? Hal ini telah mendorong Alizar untuk tiba menjumpai Yunita ke rumah orangtuanya di hari Minggu itu.
Kini, Alizar sudah hingga di Terminal Dobok dengan menaiki bus Antar Kota Salam Provinsi. Sejenak ia beristirahat di ruang tunggu terminal sambil menunggu angkutan kota yang hendak menuju desanya Yunita.
 “Uda temannya kak Yunita, bukan?”
Seorang gadis kecil penjaja minuman bertanya menyapa. Alizar menoleh ke arah penjual minuman itu. Rasanya Alizar mengenal gadis kecil itu. Ia ingat, gadis itu yaitu tetangga Yunita.
“Betul, Dik. Kamu tetangganya kak Yunita, bukan?” Sahut Alizar balik bertanya.
“Iya, kak…Kakak niscaya mau ke rumah kak Yunita” tebak gadis itu.
“Iya. Rencana Uda memang mau ke rumah kak Yunita,”
“Hm, sebaiknya Uda jangan ke rumah kak Yunita sekarang!”
Alizar terperangah. Penasaran mendengar ucapan gadis penjaja minuman itu.
“Kenapa begitu, dik?” tanya Alizar kemudian.
“Kak Yunita berpesan, jikalau bertemu dengan Uda di terminal ini, bilang jangan tiba ke rumahnya,” kata gadis kecil itu semakin menciptakan hati Alizar diliputi rasa ingin tau dan galau.
“Dik, tolong katakan, ada apa dengan kak Yunita?” desak Alizar.
“Jadi, Uda belum tau, ya?”
Alizar menggeleng.
“Kak Yunita akan menikah…”
Alizar tersedak. Kepalanya terasa berat dan tertekur ke lantai. Lidahnya terasa kelu. Jantungnya seakan berhenti berdenyut. Sulit mempercayai ucapan gadis kecil di depannya ini.
Alizar berusaha mengangkat kepalanya yang terasa semakin berat.
“Benarkah begitu, Dik?”
Gadis kecil itu mengangguk. “Permisi Uda, saya mau jualan dulu,” ujar gadis itu meninggalkan Alizar.
Alizar melangkah lesu. Melangkah ke dingklik panjang di depan loket penumpang yang pernah ditempatinya ketika pertama kali ke terminal ini enam bulan lalu.
Kini Alizar jadi tahu jawabannya. Pantasan surat terakhirnya dua ahad lalu, tak pernah dibalas Yunita.
“Uda, maafkan Yunita ya…,” Sebuah bunyi terdengar lamat-lamat di indera pendengaran Alizar. Alizar hafal betul si pemilik bunyi itu.
Alizar mengangkat wajah. Yunita telah berdiri di depan Alizar.
“Yuni…” bunyi Alizar terdengar berdesis seraya berdiri. Menatap wajah Yunita dengan mata kuyu..
“Uda, maafkan Yuni, ya?. Uda janganlah marah, sebab semua ini sudah nasib kita berpisah. Mungkin kita tak berjodoh, Uda...” Suara Yunita terdengar serak menahan rasa yang sulit diungkapkan pada lelaki di hadapannya. Lelaki yang diyakini hatinya terluka menghadapi kenyataan ini.
“Yuni, selamat ya?” kata Alizar seraya menyodorkan tangan menyalami Yunita. Meskipun berat, Yunita mencoba menyambut uluran tangan Alizar. Yunita tak sanggup menahan air matanya.
Ingin Alizar menyapunya semoga tak lagi membasahi pipinya. Namun Alizar merasa tak berhak lagi melaksanakan itu. Semuanya sudah berakhir.
Setelah itu Alizar berbalik dan meninggalkan Yunita yang masih terpaku di tempatnya. Membawa hati dan pikiran yang galau. Ia melangkah ke luar arena terminal Dobok.
Di terminal Dobok ini pertama kali Alizar berjumpa dengan Yunita. Ternyata di terminal ini pula semuanya harus berakhir.

Saturday, 9 February 2019

Pasti Dapat Gadis Manis Murid Pak Guru

Andri memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Kini tubuhnya miring, menghadap ke arah cermin hias yang tergantung dinding kamar kostnya. Matanya tak sengaja menatap gelang biru yang tergantung di paku, persis di bawah cermin hias itu.


 memutar tubuhnya sembilan puluh derajat PASTI BISA Gadis Cantik Murid Pak Guru
Ilustrasi gadis manis murid pak guru (pixabay.com)

Gelang biru itu telah menggerakkannya untuk bangun dari daerah tidur. Kemudian meraih gelang biru kenang-kenangan dari muridnya itu
“Marsita…”
 Tak sengaja bibir Andri menyebut nama yang tertulis di gelang biru itu. Tiba-tiba wajah murid manis itu kembali bersarang di angan-angannya. Seorang murid manis di kelas yang diajarnya saat praktek pengalaman lapangan di sebuah SMP.
 “Pak…, tunggu…!”
Seorang siswa wanita berteriak memanggil seraya mempercepat langkah mengejar langkah gurunya. Guru muda itu menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke belakang.
 “Ada apa, Marsi?” tanya Andri
“Bapak sibuk, ya?”
“Hm, enggak juga. Emanngnya kenapa?”
“Boleh minta waktu untuk bicara dengan bapak?”
“Tentu saja boleh. Hm, tampaknya penting banget,”
“Dibilang penting, enggak. Di bilang ndak penting… entahlah..”
“Baiklah, kita ke bawah pohon itu, semoga nyaman ngomongnya..” ujar Andri seraya melangkah menuju pohon mangga yang rimbun di pekarangan sekolah.
Sampai di bawah pohon mangga, Marsita tak bicara apa-apa. Sementara itu Andri juga diam. Menunggu apa yang disampaikan Marsita.
“Pak….?’ Marsita nampak ragu-ragu.
“Iya…, kau mau ngomong apa…?”
Marsita membisu lagi.
“Tidak usah malu, ngomong saja…” desak Andri.
“Usai program perpisahan ini, bapak enggak akan kesini lagi ya?”
“Hm, mungkin…”
Marsita merongoh saku roknya. Kemudian mengeluarkan sebuah benda melingkar berwarna biru.
“Pak…, terimalah gelang biru ini sebagai kenang-kenangan dari murid yang pernah bapak ajar,” ujar Marsita dengan bunyi terbata-bata seraya menyodorkan gelang itu pada tangan Andri.
Andri menyambut gelang biru itu dari muridnya. Namun guru PL itu mendadak terdiam saat Marsita pergi begitu saja sesudah menunjukkan gelang berwarna biru itu.
Andri hanya geleng kepala.
*****
Lamunan Andri buyar. Ia menghela nafas. Perlahan kembali meletakkan gelang berwarna biru itu kembali pada paku gantungan di bawah cermin hias.
Entah mengapa wajah Marsita selalu hadir dalam angannya. Seorang siswa manis namun cerdas. Tapi entah kapan lagi akan berjumpa dengan Marsita nun jauh di sekolah sana.
Satu-satunya kenang-kenangan dari siswa yang masih tersisa hanyalah gelang berwarna biru tunjangan Marsita.
Waktu satu semester untuk praktik mengajar terasa begitu cepat berlalu. Ia gres menyadari saat program perpisahan dengan mahasiswa PL. Ternyata mengajar itu pekerjaan yang menyenangkan.
Waktu bergulir begitu cepat lantaran selalu bergaul dengan anak didik. Tidak hanya di ruang kelas dalam aktivitas berguru mengajar tatap muka. Mendampingi siswa berkegiatan ekstrakurikuler tak kalah asyiknya.
Jadi guru PL saja sudah mengasyikkan apalagi jadi guru benaran. Oleh alasannya ialah itu Andri bertekad untuk menuntaskan perkuliahannya sempurna pada waktunya.
 “Jika saya wisuda nanti dan berhasil jadi guru benaran, niscaya  akan kucari kembali kau Marsita, meskipun suasananya mungkin sudah jauh berbeda,”.kata Andri membatin.

Friday, 1 February 2019

Pasti Dapat Antara Nasibku Dan Nasibmu Kini

Lalu lintas padat merayap tatkala memasuki area pasar tradisional. Kendaraan roda dua maupun roda empat terjebak dalam rangkaian kemacetan dari dua arah yang berlawanan. Masing-masing pengemudi dan pengendara hendak berusaha untuk membebaskan diri dari kemacetan.

 merayap tatkala memasuki area pasar tradisional PASTI BISA Antara Nasibku dan Nasibmu Kini
Ilustrasi ibu dan anak (pexels.com)

Namun perjuangan itu seakan sia-sia lantaran jalan raya menjadi sempit oleh kendaraan yang parkir seenaknya di kiri dan kanan jalan.

Anak sekolah dan pegawai yang bertugas sudah tidak sabaran berada dalam kemacetan. Khawatir akan terlambat hingga di sekoalh. Kalau terlambat hingga di sekoalh akan mendapat sanksi.

Rikasari, seorang ibu muda nampak duduk damai di belakang stir sebuah kendaraan beroda empat mewah. Ia sudah terbiasa berada dalam perangkap kemacetan setiap melewati pasar tradisional itu.

Sayup-sayup terdengar bunyi pedagang kaki lima meneriakan barang dagangannya.

“Dipilih dipilih, sayang anak sayang anak,
kemarilah buk, kemarilah pak
yang punya anak kecil.”

“Mama.., ntar Chika dibelikan mainan ya, ma?” ujar seorang bocah kecil yang duduk di sebelah kiri Rikasari. Chika setengah merengek tatkala mendengar bunyi pedagang mainan.
“Iya, sayang…” sahut Rikasari tenang.

Sebagai single parent, Rikasari sangat mencintai putri semata wayang buah hati perkawinannya dengan almarhum suaminya, Suradi. Itu sebabnya mengapa ia belum berkeinginan mencari pengganti dan tetapkan untuk membesarkan Chika.

Setelah berhasil lolos dari kemacetan jalan yang membelah pasar, ibu muda itu memarkir mobilnya di halaman sebuah rumah penduduk di pinggiran pasar.

“Hm, Chika mau mainan apa, sayang?” tanya Rikasari seraya membimbing anaknya memasuki pasar.

“Helikopter, ma…”

Rikasari menyeruak keramaian pasar menuju arah bunyi pedagang penjual mainan anak. Makin usang teriakan pedagang mainan terdengar makin keras. Rikasari dan anaknya hingga pada pedagang penjual mainan anak.

Sejenak Rikasari memperhatikan pedagang mainan anak itu. Ia mengenakan rayben hitam. Topi lebar yang menutupi kepala menciptakan sosok pedagang mainan itu menjadi tidak jelas.

Sementara itu Budiman, sang pedagang mainan anak itu cukup kaget ketika di balik rayben hitamnya melihat ibu muda dan anaknya sudah bangun mendekati dagangannya. Hatinya berdegup kencang. Kenapa tidak? Budiman sangat mengenal sosok ibu muda itu meskipun sudah hampir sepuluh tahun tidak bertemu.

Dari tadi Budiman berusaha untuk damai dan terus meneriakan mainan anak barang dagangannya. Ia berusaha berpura-pura tidak mengenal sosok di hadapannya. Berusaha biar Rikasari, perempuan yang pernah akrab dengannya semasa kuliah dulu, tidak mengenalnya.

“Bang, ada mainan helikopter nggak?” tanya Rikasari tanpa menoleh, melainkan mencari-cari mainan helikopter di tengah tebaran mainan anak yang ada di lapak sederhana itu.

“Oh, ada, buk…” sahut Budiman agak gugup, Setelah mengambil sebuah mainan helikopter, Budiman menyerahkannya pada Rikasari.

“Berapa harganya, bang?”

“Tiga puluh ribu saja,  buk..”

“Kemahalan…”

“Oh, Itu sudah harga biasa, buk.”

“Boleh dikurang tidak, bang?”

“Khusus buat anak ibuk yang cantik itu, bayar duapuluh lima ribu saja, buk……”

Kalimat Budiman tergantung di udara. Tak sengaja rayben hitam yang dikenakannya terjatuh dikala mengepak mainan helikopter.

Dengan cepat Budiman memungut kembali raybennya. Namun apa hendak dinyana, Rikasari sempat melirik raut wajah pedagang mainan anak itu.

Rikasari kaget ketika melihat sosok penjual mainan anak itu. Rasanya ia pernah mengenal pedagang mainan anak ini. Ia, tak salah lagi. Lelaki itu yaitu Budiman, lelaki yang dikenalnya semasa kuliah dulu.

“Maaf, ini Bang Budiman…?” tanya Rika coba menebak.

Budiman tersedak. Terpaksa mengangguk, mengakui tebakan Rikasari benar.

Kini Budiman merasa kedoknya sudah terbuka. Oleh alasannya itu ia tak mungkin mengelak lagi. Kemudian membuka rayben dan topi lebarnya.

“Masyaallah, bang….Allah telah mempertemukan kita kembali di pasar ini,” ujar Rikasari sendu.

******

Budiman segera menutup dagangannya sesudah Rikasari meminta waktu untuk ngobrol. Kemudian mereka mampir di lapak es cendol tak jauh dari lapaknya.

“Nasib kakak kurang beruntung, Rika…” ujar Budiman.

“Maksud abang?”

“Setelah final kuliah, kakak tidak berhasil mendapat pekerjaan layak. Akhirnya terpaksa jadi pedagang mainan anak…,”

“Tapi kakak masih beruntung dari saya,” potong Rikasari.

“Kenapa?”

“Saya hanya jadi ibu rumah tangga final kuliah dan kini….” Suara Rikasari memarau.

“Kini bagaimana, Rika?”

“Saya kini single parent, papanya Chika meninggal dunia setahun lalu.”

“Maaf Rika, kakak tidak bermaksud membuka kesedihanmu…”

“Tidak apa-apa, bang…Bagaimana keadaan kakak sekarang?” Rikasari mengalihkan persoalan.

Budiman menghela nafas.

“Seperti yang kau lihat sekarang..”

“Keluarga abang?”

Budiman tersedak dan batuk dikala meneguk es cendol di gelasnya.

“Abang belum berkeluarga, Rika.” sahut Budiman kemudian.

 “Oh ya, kapan-kapan kakak mampir ke rumah saya ya, bang…”

“Bila ada waktu kakak akan mampir. Mudah-mudahan pekan depan kakak berdagang lagi di pasar ini dan mampir ke rumahmu, “ kata Budiman.

Kemudian Rikasari pamit. Menghilang di tengah keramaian pasar. Sementara Budiman nampak terduduk di kursi panjang lapak es cendol. Ada rasa hiba di hati Budiman mengenang dongeng Rikasari.  

Sunday, 27 January 2019

Pasti Dapat Surat Kaleng Indah Yang Tercecer

Pak Syukri tersenyum kecil sesudah berhenti berbicara. Dalam keadaan kelas ibarat ini ia menentukan membisu ketimbang melanjutkan pertanda pelajaran.  Dua atau tigas siswa yang duduk barisan belakang ruangan kelas, terlihat kusuk kasak. Mereka seperti mencuri kesempatan untuk berbicara.

 tersenyum kecil sesudah berhenti berbicara PASTI BISA Surat Kaleng Indah yang Tercecer
Ilustrasi surat kaleng (pixabay.com)

          Dan itu terang teramati melalui sudut mata pak Syukri. Posisinya berdiri, menulis di papan tulis dikala pertanda pelajaran agak menyamping. Dengan ekor mata akan sanggup mengawasi semua siswa di kelas itu meskipun sedang menulis di papan tulis.
         “Sepertinya, ada sesuatu yang kurang beres pada belum dewasa bapak yang duduk di bab belakang,” cetus pak Sukri sesudah melempar senyum kecilnya.
          Spontan semua mata menoleh ke arah belakang ruangan kelas. Ingin tahu apa yang terjadi dengan teman-temannya yang duduk di formasi bab belakang. Yang merasa terganggu oleh tingkah temannya dibelakang melayangkan ucapan protes.
         Ada juga yang merespon dengan meneriakkan temannya yang telah menghentikan proses pembelajaran. Suasana kelas agak gaduh.
        “Sudah, sudah…” ujar pak Syukri memperlihatkan arahan dengan tangan untuk meredakan bunyi siswa yang duduk di bab depan.
         Ketika suasana kelas sudah kondusif dan terkendali, pak Syukri menggarut-garut kepalanya yang memang tidak gatal.
        “Hm, yang lain diam, ya? Jangan berkomentar dulu alasannya ialah bapak mau bertanya pada sahabat kalian yang duduk di bab belakang,” kata pak Syukri dengan bunyi berat dan berwibawa. “Ada apa gerangan yang terjadi dengan kalian yang duduk di bab belakang itu?”
         Siswa-siswa yang dimaksud pak Syukri tidak memberi respon. Namun tiba-tiba salah seorang di antaranya, maju ke depan kelas membawa sesuatu. Kemudian menyerahkan pada pak Syukri.
         “Apa ini?” tanya pak Syukri mengerinyitkan dahi.
      “Surat kaleng, pak,” sahut Jumadi menyerahkan secarik kertas seraya berbalik dan kembali ke daerah duduknya di belakang.
            Pak Syukri membacanya sekilas. Namun kemudian menyimpan dalam saku celananya. Setelah itu kembali pak Syukri melanjutkan pertanda pelajaran.
           Di kantor majelis guru, pak Syukri membaca isi secarik kertas yang diserahkan siswanya tadi.
         Nita, kau somse (sombong sekali) deh. Aku sudah usang suka padamu tetapi kau masbodoh aja. Tidak kah kau merasa salah seorang di antara temanmu menaruh simpati kepadamu? Salah seorang temanmu itu ialah aku… (dariku yang mengagumimu, ES).
         Pak Syukri geleng-geleng kepala seraya tersenyum kecil. Bukan main anak sekolah zaman sekarang. Masih Sekolah Menengah Pertama sudah cendekia menciptakan surat dengan kalimat indah
        “Hm.., maaf pak. Bapak memanggil saya?”
         Pak Syukri terkesima. Salah seorang murid wanita sudah bangun di hadapannya.
         “Oh, ya…Benar. “ sahut pak Syukri sedikit gugup.
        “Kamu sudah mengetahui, kenapa dipanggil ke ruangan ini?
        Anita Swara, siswa wanita itu menggeleng.
        “Hm, apakah selama ini kau merasa ada sahabat kau (laki-laki) yang begitu bersikap absurd kepadamu?”
         Anita terdiam.
        “Ya, coba kau renung-renungkan sebentar. Mungkin ada di antara teman-teman kau yang bersimpatik padamu,” timpal pak Syukri.
          “Hmmm, ada pak. Dia sering mengganggu Nita,…” kesannya Anita teringat seorang temannya yang bersikap absurd kepadanya.
          “Namanya?” pintas pak Syukri cepat.
          “Edward Samsir, pak.”
          “Oh, Edward.” Pak Syukri manggut-manggut.
           Ia mulai menduga jikalau pengirim surat kaleng yang dikantonginya, dengan inisial ES ialah nama yang disebutkan Anita barusan.
         “Kamu yakin yang menulis surat kaleng ini, Edward Samsir?” tanya pak Syukri seraya memperlihatkan secarik surat yang ditulis tangan..
         Anita terkejut bukan main. Perlahan diamatinya surat yang diperlihatkan oleh pak Syukri. Darahnya berdesir manakala membaca isi surat kaleng itu. Malu, takut, berbaur jadi satu. Ia yakin benar jikalau itu ialah goresan pena Edwar Samsir.
         “I…Iya…pak,” jawab Anita gugup.
         “Apa dasarnya keyakinanmu?”
         “Saya tahu bentuk goresan pena tangan Edward, pak.”
       “Ya, sudah... Terima kasih. Tapi surat ini bapak simpan, dan kau kembali ke kelas. Oke?”
        “Iya, pak.” Anita menyalami pak Syukri dan meninggalkan ruangan majelis guru.
     Keesokan harinya, pak Syukri memanggil Edward dan menasehatinya supaya tidak mengulangi lagi perbuatan ceroboh tersebut. Pak Syukri menentukan untuk tidak berbagi perkara inovasi surat kaleng di kelas itu. Tentunya supaya kedua siswa tersebut tidak merasa malu.

Friday, 18 January 2019

Pasti Dapat Pesan Ayah Wacana Gaji

Belasan tahun Johan menjadi pegawai negeri sipil guru. Ia diangkat pertama kali menjadi pegawai guru dengan golongan dua. Tentu saja penghasilan dari golongan rendah itu belum mencukupi untuk kebutuhan hidup rumah tangga.

Belasan tahun Johan menjadi pegawai negeri sipil guru PASTI BISA Pesan Ayah Tentang Gaji
Ilustrasi pesan ayah perihal honor (pixabay.com)

Dari bulan ke bulan terpaksa berhutang pada teman seprofesi. Kemudian saat mendapatkan honor di awal bulan, yang diutamakan Johan ialah membayar hutang. Dengan cara menyerupai itu, rekan-rekan seprofesi akan percaya dan mau meminjamkan uangnya.

Begitulah kehidupan Johan dari bulan ke bulan sebagai pegawai negeri golongan rendah dengan tanggungan istri dan dua anak. Gali lubang tutup lubang, menyerupai kata pepatah.

Tapi masih untung saat itu bawah umur Johan masih kecil sehingga belum banyak mengeluarkan uang untuk membiayai pendidikan anaknya. Masih untung juga waktu itu biaya hidup untuk yang lain-lain, belum banyak.

Johan menghela nafas... 

Terasa sesak saat membandingkan kehidupannya semasa bergolongan rendah dengan masa kini ini. Kini anak-anaknya sudah memasuki dingklik pendidikan menengah dan tinggi.

Saat ini memang, Johan sudah bergolongan paling tinggi untuk jabatan pegawai negeri guru. Bahkan sudah ada pula kegiatan sertifikasi guru sehingga penghasilannya jauh lebih besar.

Johan tak habis pikir. Dulu dengan honor pas-pasan, ia sanggup hidup dengan tenang. Sekarang dinamika hidup itu semakin menciptakan ia selalu berlari dan berlari kencang. Mengejar sesuatu yang tak pernah terang apa wujudnya.

Sekejap Johan teringat pesan almarhum ayahnya. Ketika beliau diangkat sebagai pegawai negeri pertama kali, ayahnya berpesan biar selalu bersyukur. Gaji yang diterima setiap bulan, besar atau kecil, harus disyukuri.

Jika honor yang diterima disyukuri maka Allah SWT akan mencukupinya. Tidak mesti dengan jumlah melainkan dengan berkahnya. Gaji yang kecil disyukuri akan terasa menciptakan hidup tentram alasannya ialah memang honor itu mempunyai keberkahan.

Gaji yang diterima tiap bulan itu ialah halal. Namun jangan bersembunyi di balik label halal honor yang diterima. Gaji yang dibayarkan pemerintah itu berasal dari uang rakyat. Maka tunaikanlah kewajiban sebagai pegawai negeri dengan sebaik mungkin.

Semakin tinggi pangkat atau jabatan semakin tinggi pula honor yang dibayarkan oleh pemerintah. Sejalan dengan itu kiprah dan tanggung jawab pegawai negeri juga semakin besar.

“Jika kau melalikan kiprah dan tanggung jawabmu sebagai pegawai negeri maka lambat atau cepat, kau akan merima akibatnya, Johan. Paling tidak menciptakan bathinmu tidak tentram, selalu merasa kurang dan lain sebsagainya yang tidak nampak secara fisik oleh orang lain. Itu tandanya honor yang kau terima tidak berkah.” tutur ayahnya tegas.

Johan tersentak dari lamunannya...

“Maafkan aku, ayah. Mungkin saya telah lupa pesanmu selama ini sehingga saya mencicipi betapa honor yang kudapatkan terasa kurang berkahnya. Hidupku lebih banyak gelisah tanpa tahu penyebabnya.

Johan segera bangkit. Melangkah ke kamar mandi dan berwudhuk. Kemudian melakukan shalat Isya bersama istrinya. Ia jadi sadar bila selama ini dirinya kurang besyukur dan melupakan pesan ayahnya. (Kiriman:  Rajo Mudo)